Lebih nyaman jika pundak tak ikut menopang
Kondisi ini mempersempit pilihan bagi biker yang punya postur tubuh di luar rata-rata. Sebut saja jika biker itu punya badan lebih tinggi dari 180 cm. Atau, bahkan lebih pendek dari 160 cm.
Bagi mereka, tentu butuh pertimbangan matang dalam memilih pacuan yang sesuai dengan tubuhnya. “Rasanya jika berbicara postur tubuh dalam memilih motor agak sulit. Tapi, setidaknya bisa dirasakan melalui segitiga berkendara,” ungkap Made Surya, Instruktur Safety Riding PT Astra Honda Motor (AHM).
Artinya, sobat kudu rasakan kenyamanan berkendara melalui tiga titik. Yaitu; Pinggul, lengan dan kaki. Jika semua titik ini merasa nyaman, semua tipe motor bisa tidak jadi kendala. Yuk, simak!
Dari sisi tinggi, tentu akan punya kendala yang sama seperti yang sudah disebut sebelumnya. Tapi, tubuh tinggi dipadu gemuk besar, juga mesti punya pertimbangan dalam memilih pacuan. Tapi, kecenderungan mengaplikasi besutan sport. Itu karena lebih proporsional dengan tubuh yang dimiliki. Motor dengan riders terlihat lebih pas.
"Enggak sembarang tipe motor sport yang dipilih. Akan lebih nyaman jika motor itu punya gaya sport turing,” bilang Wahyu, seorang pengendara dari Bekasi, Jawa Barat. Pertimbangannya memilih sport turing karena riding position yang diberikan. Segitiga berkendara yang diberikan tergolong lebih datar, bukan merunduk macam pacuan sport yang sporty.
“Kalau terlalu merunduk badan lebih cepat lelah. Karena pundak harus ikut menopang bobot tubuh,” tambah pemilik bobot 120 kg/187 cm yang kesehariannya menempun jarak 60 km (pulang-pergi ke kantor).
Posisi riding pengaruhi kenyamanan
Maaf, jika sobat memiliki postur tubuh tergolong kecil dan pendek, ketika naik motor bebek rasanya tak masalah. Tapi, akan timbul kendala jika menunggangi pacuan sport. Sebab jarak tinggi jok motor sport dari tanah, biasanya lebih tinggi ketimbang bebek atau skubek.
Kondisi ini, berdampak kaki berpijak. Bobot tubuh dan kendaraan tak mampu ditopang sempurna. Bahkan jika tinggi tubuh hanya sekitar 150 cm, bisa saja kedua telapak kaki tak menopang. “Hanya satu atau dengan cara jinjit,” aku Heri Suparjan, biker asal Pamulang, Tangerang yang punya postur 155 cm/ 50 kg.
Dipaksakan, akan berbahaya jika berkendara di kemacetan. Proses stop & go, menyita tenaga. Belum lagi biasanya bobot motor sport lebih berat ketimbang bebek atau skubek. Pacuan bebek umumnya punya berat sekitar 100 kg. Sport, bisa di atas 130 kg. “Lebar jok, juga pengaruh. Semakin lebar jok, tumpuan kaki ke tanah jadi minim,” tambah Heri yang lebih memilih skubek buat harian.
Duduk lebih kebelakang, pengaruhi distribusi bobot
Jangan mengira kalau postur tubuh tinggi tidak bermasalah, lho. Mungkin jika biker dengan tinggi di atas 180 cm, tidak masalah berkendara pacuan sport. Justru, terkesan proporsional atau ideal. Tapi, cerita akan berkata lain jika ber-kendara dengan motor tipe skubek atau semplakan bergenre minimoto.
Masalah yang timbul ada di segitiga kenyamanan. Misalnya dengan jarak jok yang lebih pendek dengan pijakan kaki, membuat posisi duduk menjadi tidak nyaman. Begitu juga ketika handling. Bisa saja setang mentok dengan dengkul. Atau, lutut mentok ke kompartemen depan.
Penyebabnya, karena anggota badan lebih panjang. Biker pun kudu geser posisi duduknya lebih ke belakang. “Idealnya riding position layaknya kita duduk di kursi. Bergesernya posisi duduk, ini akan berpengaruh pada distribusi bobot. Tidak hanya safety saja, tapi bisa membuat lelah tubuh,” sebut Hendro Aryono dari divisi Safety Riding PT Yamaha Motor Kencana Indonesia (YMKI). (motorplus-online.com)