Kunci keamanan menunggangi sport bike adalah mindset, bukan skill. Bagaimana mengontrol
diri sendiri dan power besar sesuai situasi jalan raya.
“Kontur tubuh motor sport dan tenaga yang berbeda, menuntut berubahnya mindset pengendaranya pula. Dimulai saat mulai duduk di atas motor kategori sport ini saja sudah memberi sensasi serasa seorang pembalap di sirkuit,” kata mantan pembalap motor dan pakar safety, Jusri Pulubuhu.
Motor bermesin besar, tampilan makin atrakti, level adrenalin pun ikut meningkat. Biasanya ini dialami rookie alias riders yang baru ‘naik kelas’, membejek motor cc besar. “Kontrol emosi terkadang berubah. Perilaku unsafe pun tanpa sengaja jadi muncul,” lanjut pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting ini. Apa saja kesalahan para 'rookie' tersebut?
Jangan nekat ikut konvoi sebelum kuasai karakter motor
1. KURANG TRAININGUntuk menguasai motor sport dan berkendara dengan aman, perlu pelatihan safety riding yang cukup. Pelatihan tak hanya membekali rider dengan teknik riding tapi juga belajar memahami karakter motor bermesin besar.
“Motor cc besar, bobot dan tenaganya lebih besar. Cara braking, handling, cornering atau saat nikung, itu beda dengan motor bebek atau cc kecil,” kata Yaya dari komunitas motor 250 cc ke atas, 250UP Community yang rutin menggelar pelatihan safety riding untung anggotanya.
2. KAGET POWER BESAR
Kebanyakan rookie kaget saat beralih dari motor bertenaga 10 dk ke motor sport bermesin 100-an dk. Ditambah situasi jalan raya yang tak terduga, ujungnya hampir bisa dipastikan adalah celaka. Paling sering terlihat saat turing, nyusruk di tikungan.
“Biasanya keenakan menikmati tenaga besar, gitu masuk tikungan enggak bisa handel, melebar. Makin besar power, makin besar risiko dan bekal ilmu yang dibutuhkan,” ujar Yaya.
Power besar biasa memicu rookie rider untuk melaju kencang di jalan raya diatas batas normal. “Ingat semakin cepat motor melaju semakin sulit untuk dikendalikan. Jarak berhenti semakin panjang, waktu reaksi si biker menjadi pendek, kemampuan analisa pun akan hilang. Artinya nyawa menjadi taruhannya,” lanjut pehobi turing.
3. KEBESARAN EGO
Ditatap banyak orang dengan peraasan kagum, rasanya pasti menyenangkan. Saat naik motor besar, knalpot meraung dengan suara berat, riding gear bermerek. Hati-hati, kalau sampai bikin kegedean rasa, ini bisa jadi bumerang.
Merasa jadi sumber perhatian, semua orang pasti melihat kalau sudah naik motor sport, memicu tindakan sembrono dan aksi agresif. Seperti aksi memotong kendaraan, mengerem mendadak atau bergerak di blind spot. “Tidak terima ketika ada motor lain menyalip. Dengan style motor seperti ini merasa pantang ada yang menyalip,” ujar Jusri.
4. KONVOI SEBELUM WAKTUNYA
Jangan nekat ikut turing dan konvoi kalau belum menguasai benar karakter motor dan teknik handlingnya. Kondisi jalan raya dan rider lain yang tidak terduga, menuntut pengambilan tindakan yang cepat. Kalau belum siap, ujungnya celaka lagi. Dari nyusruk di tikungan sampai tabrakan beruntun. Yang celaka bukan hanya diri sendiri, tapi juga rider lain di group Anda.
Kalau merasa belum cukup mahir, jangan bawa penumpang. Tolak dengan tegas, permintaan dan bujuk rayu teman, pacar atau gebetan yang pengin membonceng motor Anda saat turing. Memboncengkan penumpang tanggung jawabnya jadi dobel, keselamatan diri dan penumpang.
5. TIDAK PAHAM SITUASI LALIN
Rider motor sport baru biasanya banyak berlatih di sirkuit dan memiliki sosok idola sebagai acuan. Tapi ingat, jalan raya jauh berbeda dengan sirkuit. Jangan tiru aksi pembalap profesional bermanuver di trek balap saat berkendara di jalan raya. Seperti start agresif atau belok dengan lutut menempel di aspal.
“Pergerakan awal di perhentian lampu atau perempatan dengan melejit cepat seakan-akan di garis start, sebagaimana Valentino Rossi atau Marques. Gerakan ini sangat – sangat berbahaya. Saat perubahan lampu merah ke hijau, kemungkinan dari arah samping ada yang menerobos, dapat saja terjadi,” terang Jusri.(motor.otomotifnet.com)