Meskipun dijelaskan bagaimana ‘borosnya’ negeri ini, terutama tudingan terhadap tingginya penjualan mobil dan motor, toh massa tetap tak menerima keputusan naik harga BBM bersubsidi.
Terlepas dari ketidakpuasan massa itu, yang menjadi pertanyaan besar, apakah betul mobil dan motor menjadi penyebab utama borosnya pemakaian BBM bersubsidi dalam negeri? Itukah biang keladi membengkaknya subsidi pemerintah?
SINERGI
Bila melihat sekilas, bisa jadi asumsi itu benar adanya. Menurut Vice President Communication PT Pertamina, Muhammad Harun, saat dihubungi, Senin (2/4), konsumsi BBM subsidi hingga akhir april, sudah mendekati 10,7 juta kilo liter. “Hitungan kami bisa melebihi kuota sampai akhir tahun yang dipatok 47 juta kiloliter,” tuturnya seraya menyebutkan, premium yang dipakai sejak Januari-Maret sebanyak 6,65 juta kiloliter.
Ia menduga, dari jumlah itu, premium yang paling banyak dikonsumsi. Dengan kata lain, untuk sektor transportasi, premium subsidi yang banyak dipakai.
Pantas saja kalau premium banyak konsumsinya. Mari lihat penjualan mobil tahun 2011 lalu yang menembus angka 700 ribu unit. Belum lagi motor yang mencapai lebih dari 7 juta unit (2011). Tak salah kalau kedua kendaraan itu dituding sebagai biang keladi tersedotnya BBM bersubsidi.
Walau demikian, sesungguhnya perlu dilihat lebih jauh, mengapa kendaraan semacam mobil dan motor laris di Indonesia? Menurut Johnny Darmawan, presiden direktur PT Toyota Astra Motor (TAM) beberapa waktu lalu, ini lantaran tingginya angka pertumbuhan ekonomi di Indoensia. Dengan begitu, belanja konsumsi termasuk kendaraan, juga meningkat.
Bila merunut penjelasan itu, sayangnya pemerintah tidak mengimbangi dengan kebutuhan akan infrastruktur yang memadai. Misalnya saja penambahan jalan yang masih tersendat-sendat. Dan yang paling vital adalah tiadanya cetak biru yang jelas mengenai sistem transportasi di kota-kota besar.
Iwan, warga Ragunan, Pasar Minggu, mengaku lebih senang naik motor ketimbang melakukan perjalan ke kantornya di bilangan Kuningan dengan menumpang angkutan umum. “Kalau dari rumah saya ke kantor, naik angkutan umum dua kali. Angkot dan naik busway (bus Transjakarta). Total ongkos pergi pulang Rp 11.000 per hari. Sedangkan kalau naik motor, uang segitu bisa untuk 2 hari,” tutur pegawai di salah satu perusahaan sekuriti ini.
Toyota Prius. Mobil hibrida perlu insentif lantaran hemat BBM, Honda Jazz hibrida, buat pabrikan, mengubah mesin konvesinsional bukan perkara sulit
Benar, bila konsumsi BBM subsidi juga dinikmati oleh pemilik kendaraan. Tetapi, kendaraan juga berperan besar mendorong perekonomian.
Maka, ketika pemerintah, cq; kementrian perindustrian industri menelurkan kebijakan program Low Cost and Green Cars (LCGC), para pemaian otomotif dunia berbondong-bondong menelurkan program mobil murah dan efisien mereka.
Tengok apa yang sudah direncanakan duet Toyota-Daihatsu. Mereka sudah mempersiapkan mobil anyar yang nantinya. Begitupun dengan Nissan yang berencana menjadikan Indonesia sebagai basis produksi buat mobil hemat bahan bakar dan efisien mereka.
Bahkan, rencana produksi untuk ekspor pun bisa mendatangkan devisa besar. Belum lagi, bila produksinya di Indonesia, dijamin, tenaga kerja yang terserap pun besar.
Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah tak melulu melihat sisi negatif tumbuhnya kendaraan di Indoensia sebagai penyedot BBM terbesar di Tanah Air. yang mesti dilakukan pemerintah adalah adanya cetak biru sinergi antara departemen terkait dengan kebijakan energi dan industri. Nah, soal itu, tampaknya menjadi hal langka seperti halnya BBM bersubsidi menjelang kenaikan harga!