KURANG DUKUNGAN
“Belum lagi menurut kami kurang adanya keseriusan dan dukungan dari pihak yang bertanggung jawab dalam hal penyediaan gas,” lanjut Akbar.
Kondisi ini diperparah dengan jumlah SPBG yang jauh dari memadai. Dari total 7 SPBG yang ada, hanya 4 yang berfungsi. Dua SPBG milik Petross di Jl Perintis Kemerdekaan dan Kalideres stop beroperasi. Sedang SPBG Pasar Minggu juga pilih stop karena dikemplang operator busway.
Namun Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menilai rencana konversi ke solar sebagai kemunduran dari program lingkungan Langit Biru. “Pengoperasian bus berbahan bakar gas yang ditetapkan Pemprov DKI Jakarta di era Gubernur Sutiyoso dan Fauzi Bowo melalui Perda No 2/2005 bertujuan mengendalikan pencemaran udara,” ujar Puput, sapaan karibnya.
Menurut Puput, ada dugaan Gubernur DKI Jakarta Jokowi tak diberi informasi yang memadai soal rencana konversi kembali ke solar. “Gubernur Jokowi cenderung ditelikung dengan tidak diberi informasi yang benar dan proposional. Alasan-alasan yang diberikan cenderung manipulatif dan membohongi gubernur,” terang Puput.
Alasan bahwa mesin disel TransJakarta akan memakai disel standar Euro 4 yang ramah lingkungan layaknya penggunaan BBG, menurut Puput, merupakan sebuah kebohongan yang bersifat manipulatif. Sebab, bahan bakar solar berstandar Euro 4 tak tersedia di Indonesia. Sehingga pengoperasian bus berstandar Euro 4 akan menghasilkan emisi yang sama dengan bus disel yang beroperasi di Jakarta saat ini.
“Anda bisa bayangkan bus dengan standar Euro 4 itu harus menggunakan di atas solar dex yang harganya per liternya sekitar 12.000,-. Lalu ongkos busway mau dinaikkan jadi berapa? Bagi operator ini tentu sangat tidak ekonomis,” lanjut pria dengan rambut dikucir ini.
TAMBAH SPBG
“Permasalahan muncul ketika penetapan pengelola SPBG didasarkan penunjukkan bukan tender. Sehingga saat beroperasi, pengelola tidak kredibel, tidak profesional dan miss-management serta cenderung ekonomi biaya tinggi. Kondisi ini menyebabkan tutupnya operasional beberapa SPBG dengan meninggalkan sejumlah hutang,” urai Puput.
Persoalan lain, moral hazard para operator rekanan yang tidak mau membayar tepat waktu atas BBG yang mereka gunakan. Ketika SPBG menghentikan memasok kepada operator nakal itu, mereka mencari SPBG lain yang lokasinya jauh dari koridor mereka beroperasi.
“ Ini menjadi ekonomi biaya tinggi karena harus membayar km - emty pada bus yang menuju atau kembali dari mengisi BBG (tanpa penumpang). Akibatnya, sangat mengganggu karena memperpanjang waktu keberangkatan serta menyebabkan waktu tunggu penumpang semakin lama,” lanjut Puput.
Lalu, apa solusinya? “Bangun secepatnya SPBG pada setiap koridor. Jumlah idealnya sekitar 30 SPBG dengan masing-masing 2 dispenser. Soal SPBG yang stop beroperasi, bisa diambil alih dengan perjanjian bisnis baru,” terang pria berkacamata ini.
Polemik ini pun sampai ke telinga Gubernur Jokowi. Tidak perlu menunggu rapat konsinyasi dengan berbagai pihak terkait, Jokowi memutuskan Transjakarta akan tetap memakai BBG.
Kita tunggu saja realisasinya. (mobil.otomotifnet.com)