Masuk kelas 250 cc dan Supersport 600 cc, jadi pintu menuju jenjang balap kelas dunia. Tapi sayangnya pembalap kita, belum mampu berbicara banyak di kelas tersebut. “Di tingkat Asia di kelas Superpsort 600 cc saja, pembalap kita prestasinya masih jauh dibandingkan dengan rider-rider lain,” kata Eddy Saputra, pemilik tim balap ASH yang cukup konsen terhadap balap motor sport.
Biaya tentunya jadi tembok tebal bagi tim ataupun pembalap yang ingin berkiprah di kelas tersebut. Hitung-hitungannya buat membangun motor supersport 600 cc untuk balap nasional, dalam 1 musim atau 5 seri menghabiskan biaya Rp 200 juta.
“Itu untuk balap nasional dan pakainya Yamaha R6. Bila ditambahkan dengan crew, lebih kurang tambah biaya Rp 100 juta lagi,” jelas Eddy.
Sama dengan biaya, skill pembalap yang lebih terbiasa balapan dengan motor jenis bebek juga jadi masalah tersendiri. “Dengan kompetisi yang cukup ketat di balapan motor bebek, bisa jadi modal dasar untuk ke jenjang selanjutnya seperti Supersport 600 cc. Ketika naik jenjang, setidaknya butuh 2 tahun lagi berkompetisi di tingkat Asia,” ujar M. Fadli, rider Manual Tech BEET Kawasaki Racing yang sudah dari 2007 berkiprah di ajang Supersport 600 cc.
Masih kata Fadli, belajar 2 tahun itu di kelas nasional sudah bisa masuk papan atas. Tapi kalau tingkat Asia, masih butuh banyak lagi jam terbang bagi pembalap Tanah Air.
Untuk kelas 250 cc sendiri, terbatas dari jenis motor yang dipakai. Saat ini baru 2 pabrikan yang punya motor sport 250 cc, yakni PT Kawasaki Motor Indonesia (Kawasaki Ninja 250) dan PT Astra Honda Motor (Honda CBR 250R).
Sesungguhnya ada 1 kelas lagi yang bisa dibuka untuk menjembatani, jauhnya lompatan pembalap bebek ke kelas motorsport. Seperti balapan jaman dahulu, yang membuka kelas motorsport seperti Yamaha RX King, Kawasaki Ninja 150 dan beberapa motor lainnya.
Gelaran balapannya sendiri waktu itu, enggak terselenggara di sirkuit permanen. Dengan tidak diminatinya lagi motor 2-tak, maka kelas yang bisa dibuka untuk penjenjangan awal kelas motorsport adalah Sport 150 cc bermesin 4-tak atau kita bisa sebut kelas Minisport 150 cc.
“Balapan dengan kapasitas mesin 150 cc, bisa digelar di trek-trek yang kelasnya seperti Sirkuit Karting Sentul. Tapi dengan kecilnya sirkuit dan motor yang dipakai jenis sport, persaingannya lebih ketat. Namun grid startnya enggak bisa menampung banyak pembalap,” papar Eddy.
Tapi bila dikaitkan dengan penjenjangan ke arah balapan 250 cc ataupun supersport, Eddy setuju adanya kelas 150 cc. Harapannya pembalap sejak dini belajar dan nantinya jadi terbiasa balapan dengan motor jenis sport. Sehingga lebih mudah ketika naik ke kelas 250 cc atau bahkan Supersport 600 cc. (otosport.co.id)
Biaya tentunya jadi tembok tebal bagi tim ataupun pembalap yang ingin berkiprah di kelas tersebut. Hitung-hitungannya buat membangun motor supersport 600 cc untuk balap nasional, dalam 1 musim atau 5 seri menghabiskan biaya Rp 200 juta.
“Itu untuk balap nasional dan pakainya Yamaha R6. Bila ditambahkan dengan crew, lebih kurang tambah biaya Rp 100 juta lagi,” jelas Eddy.
Masih kata Fadli, belajar 2 tahun itu di kelas nasional sudah bisa masuk papan atas. Tapi kalau tingkat Asia, masih butuh banyak lagi jam terbang bagi pembalap Tanah Air.
Untuk kelas 250 cc sendiri, terbatas dari jenis motor yang dipakai. Saat ini baru 2 pabrikan yang punya motor sport 250 cc, yakni PT Kawasaki Motor Indonesia (Kawasaki Ninja 250) dan PT Astra Honda Motor (Honda CBR 250R).
Sesungguhnya ada 1 kelas lagi yang bisa dibuka untuk menjembatani, jauhnya lompatan pembalap bebek ke kelas motorsport. Seperti balapan jaman dahulu, yang membuka kelas motorsport seperti Yamaha RX King, Kawasaki Ninja 150 dan beberapa motor lainnya.
Gelaran balapannya sendiri waktu itu, enggak terselenggara di sirkuit permanen. Dengan tidak diminatinya lagi motor 2-tak, maka kelas yang bisa dibuka untuk penjenjangan awal kelas motorsport adalah Sport 150 cc bermesin 4-tak atau kita bisa sebut kelas Minisport 150 cc.
“Balapan dengan kapasitas mesin 150 cc, bisa digelar di trek-trek yang kelasnya seperti Sirkuit Karting Sentul. Tapi dengan kecilnya sirkuit dan motor yang dipakai jenis sport, persaingannya lebih ketat. Namun grid startnya enggak bisa menampung banyak pembalap,” papar Eddy.
Tapi bila dikaitkan dengan penjenjangan ke arah balapan 250 cc ataupun supersport, Eddy setuju adanya kelas 150 cc. Harapannya pembalap sejak dini belajar dan nantinya jadi terbiasa balapan dengan motor jenis sport. Sehingga lebih mudah ketika naik ke kelas 250 cc atau bahkan Supersport 600 cc. (otosport.co.id)