Jongkie D.Sugiarto: Pajak Sedan Kecil Perlu Di Kurangi

billy - Kamis, 28 April 2011 | 12:03 WIB

(billy - )


JAKARTA -
Mobil-mobil Jepang di Indonesia terbilang dominan. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), sejak 20 tahun lalu, hampir 95% pasar otomotif (mobil) selalu disesaki merek-merek Jepang.

Terlihat dari data penjualan Gaikindo di awal 2011 ini, 8 dari 10 penjual mobil terbanyak sejak Januari-Maret 2011 diduduki pabrikan Jepang seperti Toyota, Daihatsu dan Mitsubishi.

Sementara pabrikan non Jepang yang bertengger di 10 besar, hanyalah Ford (peringkat 9) dan Hyundai (peringkat 10).

Kondisi ini, menurut Jongkie D. Sugiarto, Presiden Direktur PT Hyundai Mobil Indonesia (HMI) bukan hal baru.

“Kita (Hyundai) memang mesti akui, tertinggal 25 tahun dari mobil-mobil Jepang, makanya, wajar kita tertinggal,” ujarnya.

Selain itu, struktur industri otmotif di Indonesia yang mengedepankan kendaraan niaga sehingga menjelma jadi mobil keluarga sebaguna (multi purpose vehicle) semacam Kijang Innova, Avanza dan Daihatsu Xenia, membuat peluang pasar di sektor lain belum maksimal digarap.

“Misalnya sedan kecil. Pasar kita kan potensial, kalau harga sedan atau mobil kecil murah, bukan tak mungkin bisa juga berkembang,” tuturnya lagi.

Perbincangan detail perihal industri otomotif dan bagaimana HMI menghadapi persaingan di pasar otomotif tanah air, diungkapkan Jongkie di ruang kerjanya saat diwawancara OTOMOTIF awal april lalu. Berikut petikannya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan industri otomotif Indonesia dalam 20 tahun terakhir ini?

Kita harus bangga dengan karya anak bangsa di bidang otomotif. Sebab, kini sudah banyak desain mobil dunia yang memakai desain bangsa kita. Kalau boleh disebut, seperti Toyota Kijang Innova, Avanza dan Daihatsu Xenia. Tentu dengan bantuan tenaga ahli Jepang.

Selain itu, ada perkembangan juga diregulasinya, kalau dulu pakai sistem delition program yaitu suatu komponen secara perlahan akan dihentikan impornya dan harus dibuat di dalam negeri, kemudian sekarang memakai sistem cost and benefit.

Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), akan memakai komponen yang harganya sesuai dan punya nilai ekonomis tinggi. Jadi enggak usah disuruh, kita memang juga berusaha mengembangkan komponen dalam negeri.

Selain bisa lebih murah, kita bisa mengurangi stok dan lain-lain. Hal ini terjadi karena kebanyakan industri otomotif sudah menerapkan sistem kanban ala mobil Jepang. Yaitu stok komponen tidak menumpuk.

Lalu?

Selain itu, yang juga penting adalah program pengembangan pasar otomotif di dalam negeri. Dulu, ketika deregulasi otomotif digulirkan tahun 1999, pemerintah sudah mencanangkan akan mengembangkan kendaraan niaga dan sedan kecil. Kendaraan niaga hingga kini sudah berkembang pesat, tapi sedan kecil belum.

Strukturnya dari dulu memang seperti itu, makanya industri komponen buat kendaraan niaga juga berkembang karena volume mobilnya juga banyak.

Lain halnya dengan sedan kecil. Menurut saya, karena harga mobil sedan itu jauh lebih mahal dari kendaraan niaga. Karena pemerintah mengenakan pajak jauh lebih besar buat sedan kecil maupun besar daripada mobil MPV.

Akibatnya harga sedan jadi mahal, karena harga mahal itupula, volumenya kecil. Kalau volumenya kecil, perusahaan komponen pun enggan untuk membuatnya. Jadi perlu dilihat efek berantainya.

Sedan kecil itu seperti apa?

Sampai saat ini yang dimaksud sedan kecil dari aturan pemerintah adalah sedan dengan kapasitas mesin di bawah 1.500 cc. Nah, pajak untuk sedan kecil ini masih jauh lebih besar dari MPV yang punya kapasitas mesin sama.

Menurut saya, pemerintah perlu membenahi dulu tarif Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) buat sedan kecil kalau volumenya mau jadi besar. Kalau sudah besar, dengan sendirinya perusahaan yang terkait, seperti komponen bisa ikut berkembang.

Sebagai contoh adalah kenapa perakitan sejumlah sedan kecil malah dicabut dari Indonesia. Misalnya seperti Honda City dan Toyota Soluna yang sempat dirakit di sini sekarang dipindahkan ke Thailand.

Hal ini terjadi karena volume sedan kecil kan tak besar di sini, sementara di Thailand kan subur. Jadi prinsipalnya juga berhitung mana yang lebih menguntungkan. Ingat, untuk membuat pabrik di suatu negara, pasar domestik negara itu menjadi patokan utama.

Apa jaminan, kalau pemerintah menyamakan PPnBM sedan kecil dengan MPV 4x2 volumenya bisa besar?

Memang, tak bisa dipungkiri, MPV masih disukai karena banyak yang ingin bisa mengangkut banyak orang. Bisa dikatakan itu sebagian besar. Tapi, ada juga yang berpikiran ingin memiliki sedan karena lebih nyaman, tetapi kan harganya tidak terjangkau. Jadi terpaksa memang membeli mobil MPV itu.

Artinya kan memang masih ada potensi untuk sedan kecil juga dan itu perlu dikembangkan. Toh kalau mau dilihat lebih jauh, sekarang hampir seluruh merek itu punya produk sedan kecil. Jadi memang bisa juga menguntungkan.

Dari hasil riset salah satu lembaga di luar negeri 2 tahun lalu, konsumen di Indonesia itu memang juga mempertimbangkan bentuk dan fungsi dari mobil ketika ingin membelinya. Tetapi di atas segala-galanya adalah harga nomor satu. Kemudian barulah nomor duanya desain dan bentuk. Ketiga barulah aftersales dan keempat resale value.

Orang Indonesia masih berpatokan harga, dapat cicilannya berapa, dengan harga segitu, dapatnya apa. Nah, makanya saya harap pemerintah bisa mengurangi aneka pajak yang dikenakan pada sedan.

Ilustrasinya begini, jika dihitung misalnya harga mobil 100, itu 40%-nya masuk kas pemerintah. Terdiri dari bea masuk, PPnBM, Bea Balik Nama, Pajak Kendaraan Bermotor. Nah, kalau sedan kecil dibuat sama PPnBM-nya dengan MPV 4x2 kan bisa bersaing juga.

Kemudian, orang akan tertarik untuk membeli sedan kecil juga karena sudah lama diiinginkan. Kalau sudah begitu, volumenya bisa membesar juga.

Terlepas dari soal sedan kecil, pemerintah sedang gencar membuat rumusan Low Cost & Green Car, bagaimana menurut Anda?

Ini bagus, karena penduduk kita yang mencapai 237 juta jiwa . Sementara potensi untuk mobil kecil juga besar. Paling tidak ada 30 juta pengguna motor yang bisa beralih ke mobil kecil itu. Nah, kembali lagi, peran pemerintah sangat besar di sini. Jangan sampai untuk regulasinya sendiri malah memberatkan.

Misalnya, begini, untuk program itu pemerintah mensyaratkan mobil yang diciptakan harus bisa mencapai 1 liter bensin untuk 22 km. Padahal negara lain mensyaratkannya hanya 1 liter buat 20 km Tentu saja, kalau berat seperti itu, aturan di negara lain akan lebih menarik dari yang dikeluarkan pemerintah kita.

Makanya, saya meminta pemerintah membuat syarat-syarat yang tidak terlalu sulit agar investasinya bisa masuk ke Indonesia.

Pabrikan Jepang seperti Toyota, Daihatsu dan Suzuki sudah bersiap, apa yang dilakukan Hyundai?

HMI hingga kini masih meyakinkan Hyundai Motor Corporation (HMC) untuk investasi di Indonesia. Memang sudah lama wacana ini digulirkan, tapi sampai saat ini belum juga berjalan. Kita di sini (HMI) belum menyerah, kita masih terus berusaha agar HMC mau berinvestasi di sini. Kalau jadi masuk sini, akan ada dua produk dari HMC: Hyundai dan KIA. Ini karena Hyundai secara korporat kan memang ada dua merek itu.

Namun, sampai saat ini belum diputuskan, antara Vietnam atau Indonesia. Tapi saya yakin pilihannya Indonesia, karena domestik market-nya juga besar. Kita harapkan mereka bisa mengambil keputusan segera agar bisa bersaing dengan merek lain.

Sebab, kalau belum membangun pabrik di sini akan dikenakan bea masuk yang mahal dan sulit bersaing dengan merek lain yang sudah menikmati fasilitas perdagangan bebas di ASEAN (AFTA).

Nah, kalau sudah masuk, investasinya enggak main-main, bisa 500 juta dollar AS, akan ada mobil-mobil yang baru. Tapi bentuknya apa dan bagaimaan spesifikasinya belum tahu seperti apa. (Hyundai memiliki program ASEAN car yang murah, rencananya mobil itu juga akan dibuat di kawasan).

Pemerintah mencanangkan bisa mencapai 1 juta unit mobil di 2015, rencananya Hyundai berapa persen?

Kalau kita sementara ini harus mengakui ketinggalan 25 tahun dari merek Jepang. Kedua, Hyundai belum berinvestasi di sini, jadi tidak mudah. Tapi kalau jadi investasi, dari 1% pasar total sekarang bisa meloncat jadi 4-5% dari total penjualan nasional. Ibarat pesawat terbang, Hyundai saat ini sudah di landasan pacu, siap-siap buat take off.

Makanya, sambil menunggu investasi itu, kita menyiapkan sejumlah infrastruktur. Mulai jaringan purna jual sampai dealer-dealer. Tahun ini kita akan tambah lagi jadi 6 dealer. Sekarang sudah 54 dealer, jadi semoga tahun ini bisa 60 dealer.

Cukup pengembangan dealer?

Ada hal yang sangat penting. Hyundai saat ini masih terus membangun brand image. Kita terus masih membangun brand image ini agar bisa terkenal seperti merek lain. Jadi kombinasi antara brand image dengan jaringan penjualan dan purna jual itu perlu dilakukan.

Membangun brand image itu perlu waktu dan doku (uang, red). Enggak bisa bikin sekarang terus langsung terkenal.Seperti merek Toyota kan mengembangkan brand image sampai puluhan tahun.

Bagaimana Anda mengembangkan merek Hyundai?

Tahun 1990 ketika saya di Bimantara ditugaskan untuk mengembangkan divisi otomotif. Saat itu Bimantara sudah memegang Mercedes-benz, Ford dan Kawasaki, Juga pabrik kopling Daikin. Nah, saya ditugaskan untuk mengambil merek lain yang belum ada di Indonesia. Saat itu hampir seluruh merek mobil sudah masuk ke Indonesia.

Pilihan lain ada dari mobil Korea, Daewoo dan mobil Jepang Subaru. Tapi Daewoo karena sudah kolaborasi dengan General Motors, akhirnya enggak jadi karena enggak boleh sama General Motors. Makanya ambil Hyundai tahun 1994. Kita jadi yang pertama memasarkan mobil Korea Selatan di sini tahun 1995 dengan Hyundai Elantra.

Tahun 1996 kemudian muncul mobil nasional (Timor, red), jadinya berantakan, tak Cuma Hyundai merek lain juga. Terus kita ganti jadi Bimantara Cakra untuk Hyundai Accent. Kemudian sampai sekarang Hyundai berjalan dan terus mengembangkan brand image.

Sampai sekarang sudah mulai dikenal, tapi masih perlu terus dikembangkan. soalnya masih banyak juga orang belum tahu, Hyundai itu ‘binatang’ apaan sih? Hahahaha...

 Menanti produk Hyundai di kawasan Asean
"Saya Ini Montir"
Jongkie D. Sugiarto ‘terpaksa’ pergi ke Jerman di tahun 1966. “Ketika itu, umur saya 17 tahun. Masih kelas 2 SMA, karena setelah Gestapu (pemberontakan PKI) saya langsung ke Jerman untuk sekolah teknik,” tutur penggemar lukisan ini.

Selama di Jerman, ia bersekolah di Universitas Muenchen jurusan teknik otomotif. Selepas kuliah langsung bekerja di pabrik Mercedes-Benz Jerman, hingga tahun 1972 Jongkie ditugaskan di Indonesia.

“Saat itu masih Star Motor dealernya Mercedes-Benz di Indonesia. Tugas saya mengembangkan jaringan sampai authorized workshop. Saya ini kan memang montir, ” ungkapnya.

Selama bertugas di tahun 1972-1985, ia bergilir melakukan pekerjaan rutin membangun jaringan sekaligus melakukan training buat para dealer baru. Ia juga menyiapkan perakitan pertama Mercedes 200 atau yang dikenal dengan Mercy Mini. “Perakitan pertama masih di Tanjung Priok. Juga merakit S280 di sini,” ujar lelaki kelahiran Jakarta, 62 tahun silam itu.

Selain memegang beberapa merek otomotif, Hyundai dan Mercedes-Benz (sebagai dealer), Jongkie juga disibukkan dengan sejumlah perusahaan. Namun, ia mengaku tidak kewalahan untuk menangani perusahaan itu. “Kuncinya ada pada kerjasama tim. Tanpa tim, saya enggak bisa apa-apa. Jongkie sendirian enggak akan bisa sukses,” tegasnya berfilosofi.

Dalam menjalankan bisnis, ia tak takut bila ada anak buahnya yang bisa menguasai ilmu lebih banyak dari dirinya. Sebab, ia berprinsip, ilmu itu memang harus dibagikan bukan untuk disimpan sendiri.

“Kalau ada anak buah yang sukses kan kita juga yang senang. Jadi punya ilmu itu jangan dikekepin (disimpan, red). Dan saya percaya penuh dengan bawahan saya. Tapi jangan sampai saya dibohongi, begitu kejadian, saya akan sikat, enggak perlu dua kali deh,” tegasnya. (mobil.otomotifnet.com)