Menurutnya, produk ini merupakan campuran dari Pertamax dengan etanol.
Etanol sendiri dapat diproduksi dari tanaman-tanaman yang umum, salah satunya tebu.
Kendati demikian, Nicke memastikan pembuatan etanol tidak akan memengaruhi produksi gula.
"Etanolnya dari molasses tebu. Ini nanti rebutan nggak dengan pabrik gula? Tidak, ini cuma tetes tebu saja, jadi pabrik gula jalan ada tetes tebunya dan potensi kita besar," terangnya.
"Selain itu juga bisa dibuat dari cassava, dari singkong, dari jagung juga," jelasnya, dikutip dari Kontan.
Bioetanol akan menjadi jenis BBM kedua yang dicampur dengan bahan nabati.
Sebelumnya, Pertamina telah menjual Biodesel 35 persen.
Biodiesel adalah campuran bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit, yaitu Fatty Acid Methyl Esters (FAME).
Dikutip dari situs Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), BBM Bioetanol memiliki sejumlah manfaat.
Pertama, pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 43 persen termasuk karbon dioksida, nitrogen oksida, dan partikel PM2 serta meningkatkan bauran energi terbarukan yang ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025.
Penurunan emisi dapat terjadi karena etanol sebagai gasohol memiliki nilai oktan sebesar (RON) 128, sehingga pencampuran dengan bensin akan meningkatkan kadar oktan dan kualitas pembakaran BBM.
Irto mengatakan, pihaknya belum dapat memastikan harga jual BBM jenis Bioetanol.
"Untuk harganya belum kita tentukan," ujar dia.
Sedangkan seorang ahli yakni Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi berpendapat, harga Bioetanol akan lebih mahal dari bahan campurannya.
Misalnya, jika blending dilakukan pada Pertalite, maka harga Bioetanol di atas Rp 10.000 per liter.
"Dengan blending itu harganya kan jadi lebih mahal, karena untuk Pertalite yang harga Rp 10.000, dengan blending itu menjadi Rp 12.000. Dengan begitu, nanti subsidinya jadi naik, begitu juga dengan Pertamax," terangnya.
Baca Juga: Bensin Bioetanol Pertamina Mentereng, Asal Dari Tebu Tapi Kualitas di Atas Pertamax