Karena menggunakan piston sangat jenong sekali, ruang bakar jadi sempit. Celahnya sangat sedikit. Dipastikan rasio kompresi di atas 20 : 1.
Ada anggapan makin besar kompresi, makin enak tenaganya. Padahal kalau kompresi kelewat besar, tidak ada bahan bakar yang pas. Bensol atau fuel racing paling tinggi 14 : 1 atau bahkan 15 : 1.
Kalau kompresi di atas 16 : 1, bisa seperti mesin diesel, tidak perlu api busi mesin akan hidup. Tapi, bahan bakar harus diinjeksikan ketika piston sedang naik.
Kalau di mesin bensin biasa, kompresi ketinggian bikin pecah piston. Power yang dihasilkan dipastikan juga jadi kecil. Bukannya besar karena akan menimbulkan gejala ngelitik dan detonasi.
Itulah pentingnya ukur rasio kompresi. Supaya tidak salah kaprah. Main ikut-ikutan tapi tidak tahu fungsi atau penggunaan piston jenong sama saja salah kaprah.
Rasio kompresi tergantung dari penggunaan bahan bakar.
Menggunakan piston jenong sebenarnya merugikan. Karena dengan bentuk yang jenong akan bikin berat piston. Dengan begitu, putaran mesin jadi terbebani. Juga bikin berat rpm mesin.
Andai rasio kompresi yang dimau sudah ketemu menggunakan piston flat, ngapain pakai yang jenong. Piston yang datar bikin enteng putaran mesin. Rpm mesin cepat naiknya.
Bahkan banyak mekanik balap yang bikin enteng piston. Selain mengurangi jenongnya, juga pen piston dipilih yang ringan. Kalau bisa aplikasi pen piston tipis supaya lebih ringan.
Kalaupun terpaksa menggunakan pen piston yang besar atau berat, banyak yang dibubut lubangnya. Tapi, jangan terlalu banyak ngebubutnya takut gampang putus pen pistonnya.
Makanya zaman sekarang muncul piston forging. Piston yang bisa dibikin tipis supaya ringan namun kuat Tentunya ini akan bikin ringan putaran mesin dan hemat pemakaian bahan bakar.
Jadi, intinya buat apa piston jenong kalau pakai piston flat namun kompresi yang dimau sudah ketemu.
Editor | : | billy |
KOMENTAR