|
OTOMOTIFNET - Kalau motor utuh baru diberlakukan 2012, lain halnya dengan aneka aksesori dan komponen roda dua. Imbasnya bakal semakin terasa lantaran hasil pemantauan yang dilakukan beberapa produsen perlengkapan motor Tanah Air hingga 2008, dari sekian banyak part maupun aksesori kendaraan roda dua yang beredar di Indonesia, sebagian besar merupakan produk luar negeri.
AKSESORI
“Paling banyak berasal dari Cina, yakni hampir 50%. Produk bikinan dalam negeri hanya sekitar 35%. Sementara sisanya ada yang dari Thailand, Taiwan, Malaysia dan sebagainya,” bilang Sjafri Ganie, ketua I Asosiasi Produsen & Pedagang Perlengkapan Motor Indonesia (ASP3MI).
Serbuan produk-produk asal negeri Tirai Bambu tersebut diakui oleh para produsen lokal merupakan ancaman yang cukup serius bagi kelangsungan hidup produk-produk dalam negeri. Apalagi dengan diberlakukannya FTA ASEAN-Cina mulai Januari tahun ini.
“Dengan diturunkannya bea masuk impor sesuai perjanjian FTA ASEAN-Cina itu, bisa dipastikan bakal makin banyak lagi produk-produk Cina yang masuk ke Indonesia. Sebelumnya saja sudah banyak, meski pajak masuknya masih tinggi. Apalagi sekarang,” lanjut bos PT Marconrindo Utama, produsen knalpot merek R9 ini.
Kekhawatiran ASP3MI itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, barang-barang Cina terkenal dengan murahnya. “Meski dari segi kualitas jauh di bawah produk lokal, orang kita banyak juga yang terpikat membeli komponen dari Cina itu karena pertimbangan harga tadi,” tambah Sjafri.
AUDIO
Kalau kalangan aksesori motor mulai pasang kuda-kuda, pemain audio Tanah Air melihatnya belumlah mengkhawatirkan. Justru, buat pemain audio kelas kakap, bisa menurunkan cost lantaran impor audio secara utuh dari Cina bisa terpangkas biayanya.
Sebut saja merek Roger’s Car Audio milik PT Multi Mayaka (MM) di kawasan industri Pulogadung, Jaktim. Menurut Simon Hendiawan, sales manager MM, pihaknya belum lama mendatangkan langsung produk Roger’s dari Cina secara resmi.
“Tapi kebijakan bea masuk nol persen belum terealisasi,” tandas pria yang bulan ini merayakan hari kelahirannya itu.
Menurut Simon, jika nanti benar-benar diberlakukan bea masuk barang impor dari Cina sebesar nol persen, kemungkinan besar akan berimbas langsung pada produk yang harganya di bawah Rp 1 juta.
“Sebab barang seharga Rp 1 juta ke atas tetap dikenakan PPnBM (pajak pertambahan Nilai Barang Mewah) dengan tarif antara 10-25% dari harga barang,” urai pembesut Nissan Livina ini.
Namun begitu, besarnya penurunan harga untuk produk di bawah Rp 1 juta, diperkirakan tak terlampau signifikan. “Sebab pada praktiknya, meski bea masuk sudah tidak ada alias nol persen, biaya jasa kurir (handling cost) serta trade insurance tetap tak berubah,” papar Paulus Kristianto, marketing director PT Audio Plus di Meruya, Jakbar.
Kondisi tersebut memang riil, lantaran selama ini bisnis komponen car audio di Tanah Air masih banyak didominasi oleh pihak-pihak yang menggunakan metode door to door service untuk mendatangkan barang yang diimpor langsung dari Cina.
Artinya sebagian besar importir car audio lokal, masih sangat mengandalkan jasa perusahaan lain yang sudah mengantongi ijin impor secara resmi.
Alhasil benefit yang diharapkan dengan perjanjian FTA ini, rasanya tidak banyak terasa bagi kalangan pebisnis. Alasan klise demi persaingan harga dengan para rival, sudah jadi acuan bisnis mereka hingga saat ini. Tak pelak jasa forwarder sebagai ujung tombak praktik door to door service, masih dipercaya lebih mendatangkan keuntungan.
Kalau sudah begitu, siapa yang diuntungkan?
Penulis/Foto: Anton, Dic, Riz / Reza, Anton
Editor | : | Editor |
KOMENTAR