Yang rugi tetap si kecil
Tentu saja si pengendar langsung jatuh dan terkapar. Luka. Untungnya, dia hanya cedera ringan. Sialnya, pengemudi mobil kudu mengganti kerusakan motor plus biaya berobat pengendara yang menabraknya tadi.
Jika melihat kronologis dan beberapa saksi mata, posisi mobil sudah tepat. Namun kenapa dalam posisi benar itu, ia malah mengganti semua kerugian yang tidak dilakukannya. “Sebenarnya saya nggak mau membayar. Tapi suasananya ribet dan ada semacam hukum tidak tertulis yang kecil yang menang,” ucap konco MOTOR Plus tadi.
Apa benar hal semacam ini berlaku di jalan raya. MOTOR Plus langsung menanyakan kepada ‘ahlinya’. Dia adalah Kombes Baharudin Djafar, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya.
“Tidak ada aturan yang kecil kalau tabrakan dengan yang besar maka yang kecil yang pasti menang,” ungkap polisi yang baru saja dimutasi menjadi perwira di lingkungan Polda Metro Jaya untuk disekolahkan ke jabatan lebih tinggi.
Menurut mantan Kabid Humas Polda Sumatera Utara ini, soal benar atau tidaknya seseorang dalam kasus kecelakan sangat tergantung hasil olah di Tempat Kejadian Perkara alias TKP.
“Kepolisian bertindak berdasarkan investigasi lapangan. Dari sana akan diketahui kronologi kejadian sehingga bisa diambil sebuah kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang bersalah,” katanya.
Penggiat dan pelatih safety riding Joel Deksa Mastana mengungkapkan, kalau hanya berlandaskan dimensi, nanti bisa saja motor vs orang pasti motor yang bersalah. Padahal kalau berdasarkan hasil olah TKP ternyata yang bersalah orang karena menyebrang tidak pada tempatnya. “Jadi, bukan karena dimensi seseorang dinyatakan bersalah,” ungkap Joel.
Ia menilai lebih jauh, kalau secara dimensi mestinya yang lebih kecil yang kudu berhati-hati dan waspada. Sebab, menurut instruktur berpostur irit ini, katakan si kecil dalam posisi benar. Sudah memiliki SIM, menaati aturan lalu lintas yang berlaku dan lain sebagainya, namun karena apes ia kecelakaan dan menderita luka.
“Tetap saja dia sebagai korban celaka. Karena yang kecil (motor) yang menjadi pelindung, ya bodinya sendiri. Beda dengan si besar yang dilindungi pelat besi. Makanya, saya lebih menyarankan untuk bersikap defensive riding yang penting selamat,” ungkap Joel.
Sikap defensive ini jauh lebih baik. Sebab, katakan dia mendapat penggantian dari si penabrak. Namun, apalah artinya nominal jika misalnya, kaki patah dan terpaksa harus diamputasi.
Karenanya, berkendara dengan hati-hati, harus lebih diutamakan. Dan satu hal lagi tidak lupa untuk berdoa. Setelah semuanya sudah dilakukan, selanjutnya kita serahkan kepada Yang Maha Kuasa kejadian apa yang akan menimpa diri kita.
Legalitas
Dalam pengolahan awal TKP, biasanya kepolisian akan melihat lokasi kejadian. Dari situ akan diinvestigasi secara scientific. ”Kepolisian telah dibekali ilmu untuk melakukan olah tersebut,” sebut Kombes Baharudin Djafar, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya (PMJ)
Namun jauh sebelum mengolah kejadian ini, polisi tentu akan melihat dari legalitas masing-masing pihak. “Kelengkapan surat-surat seperti STNK dan SIM serta apakah si pengendara juga pakai perlengkapa keselamatan seperti diamanatkan Undang Undang.”
Banyak kasus atau kejadian, pengendara yang terlibat itu tidak menggunakan helm, tidak memiliki SIM atau STNK sudah habis masa berlaku.
Kalau sudah begini, dari sisi hukum saja sudah melanggar. Kalau melanggar, ya berarti salah. Lantas kalau salah tetap ngotot namanya berani salah. Wkwkwkwk...
Jika pemilik mobil jeli dan tahu yang berurusan dengannya tidak pakai helm, apalagi gak ada SIM, celah ini bisa dimanfaatkan untuk menuntut balik. Makanya, kalau ada kejadian seperti ini, harus hati-hati. Mau nembak, ntar malah kena tembak! (motorplus-online.com)
Editor | : | billy |
KOMENTAR