Pasalnya, rencana BI yang akan menaikkan uang muka kendaraan (Down Payment/DP) dari 10-15 persen menjadi 30 persen terkait tren gelembung ekonomi semu (bubble) pada sektor pembiayaan kendaraan bermotor dianggap memberatkan konsumen dalam kepemilikan mobil.
Menurut Jongkie D. Sugiarto, Ketua I Gaikindo, kenaikan nominal DP ini tentu sangat memberatkan, sebab 70 persen konsumen menggunakan sistem kredit untuk pembeliannya. “DP tinggi bukan jaminan untuk menentukan jumlah kredit macet,” urainya.
Dirinya menambahkan, jika DP rendah merupakan salah satu pemikat agar konsumen mau beramai-ramai membeli mobil. Menurutnya meski DP rendah, bukan berarti nominal yang dikeluarkan konsumen juga rendah.
“DP rendah merupakan Marketing Gimmick yang disukai konsumen, sedangkan skema pembayarannya tentu sudah dihitung masak oleh lembaga leasing sehingga tak ada istilah merugi,” kata Jongkie.
Dan saat DP dinaikan, maka konsumen akan kesulitan untuk membeli mobil. Dan dampaknya akan membahayakan banyak sektor.
Wiwie Kurnia, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menyatakan keheranannya akan wacana BI tersebut. Menurutnya sangat tergesa-gesa jika BI menaikan DP kredit tanpa alasan jelas ukuran dan parameternya.
Menurutnya jika indikasi bubble hanya terjadi karena kenaikan penjualan yang mencapai 88 ribu unit bulan lalu, tentu hal itu tak dapat menjadi acuan. Sebab Income Perkapita Indonesia telah mencapai angka USD 3500.
Selain itu, uang muka adalah resiko yang harus ditanggung lembaga leasing, yang baik ada bubble atau tidak harus terus dikelola.
“Intinya bukan pada nominal DP kredit, tapi kehati-hatian lembaga dalam memberikan kredit. Sebagai contoh, bisa saja nominal DP diturunkan dari 20 ke 5 persen, asal perusahaan leasing tahu jika konsumen itu memiliki latar belakang jelas untuk dapat melunasi kreditnya,” jelas Wiwie. (mobil.otomotifnet.com)
Editor | : | billy |
KOMENTAR