Jakarta- Sepekan lalu berkembangnya berita via medsos dimana seorang pengemudi taksi di Jakarta berdebat dengan petugas tentang pelanggaran larangan parkir dan larangan berhenti.
Pengemudi taksi merasa tidak bersalah terhadap apa yang disangkakan petugas yakni melanggar larangan parkir, karena hanya menghentikan kendaraan dan tidak meninggalkan kendaraaannya.
Hal itu ditanggapi sebagai bagian diskresi Kepolisian. “Perlu kami sampaikan kepada masyarakat bahwa setiap anggota Polri memilik hak untuk melakukan tindakan diskresi kepolisian, yakni tindakan yang menurut penilaian sendiri untuk dilakukan demi kepentingan umum. Diatur dalam pasal 18 UU No 2 th 2002 tentang Kepolisian Negara RI,” tegas AKBP Budiyanto, Ssos. MH, Kasubdit Bin Gakkum, Ditlantas Polda Metro Jaya.
Ia dihubungi pekan ini (25/1).
Menurut AKBP Budiyanto, hal tersebut dipertegas pula dalam UU No. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan Angkutan jalan, Pasal 104 bahwa dalam keadaan tertentu untuk ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, petugas Kepolusian Negara RI dapat melakukan tindakan sebagai berikut:
1. Memberhentikan arus lalu lintas.
2. Memerintahkan pengguna jln untuk jln terus.
3. Mempercepat arus lalu lintas.
4. Memperlambat arus lalu lintas.
5. Mengalihkan arus lalu lintas.
Adapun pengguna jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas, sanksi pidana kurungan 1 bulan, dan denda paling banyak Rp 250.000.
“Diatur dalam Pasal 282: Setiap pengguna jalan yang tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas Kepolisian Negara RI dipidana denda pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,” bebernya lagi.
Lantas apakah hal ini tidak menimbulkan anggapan kesewenangan, lantaran tak ada pedoman yang baku terkait aturan hukum. Sehingga terkesan adanya pasal-pasal yang dinilai ‘abu-abu’?
“Perlu kami tegaskan bahwa Polri dalam rangka penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan berpedoman pada UU No. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dan peraturan perundang-undangan lainnya, yang antara lain mengatur tentang tindakan deskresi Kepolisian (Pasal 18 UU no 2 th 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang selama ini masih banyak masyarakat yang belum paham,” jawab AKBP Budiyanto lagi.
Sejurus dengan itu, kesalahpahaman yang terjadi antara pengemudi taksi dengan Polantas tentang perdebatan pelanggaran larangan parkir dan larangan berhenti sebenarnya tidak perlu terjadi apabila masing-masing sudah mampu menempatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta pemahaman yang memadai tentang hukum, tugas dan kewenangan Polri.
Karena tindakan petugas kepolisian sudah mengacu kepada peraturan Perundang-undangan yang ada, baik itu yang diatur dalam UU no 22 th 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dan UU no 2 th 2002 tentang Kepolisian Negara RI khususnya tentang Diskresi Kepolisian.
“Bagi masyarakat yang merasa dirugikan atas tindakan petugas Kepolisian bisa memberikan argumentasi /pembelaan pada saat pelaksanaan sidang TP (tindak perkara) pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan, karena yang bisa memberikan keputusan seseorang salah atau benar terhadap TP pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan adalah pihak Pengadilan,” tegas AKBP Budiyanto.
Editor | : | Harryt MR |
KOMENTAR