Jakarta - Pada skema perdagangan dunia, pemerintah sepertinya sedang berupaya untuk menguatkan posisi tawarnya dan memaksimalkan modal yang dipunyai, yakni pasar yang besar dan terbuka, termasuk untuk industri otomotif.
Presiden Jokowi pun diklaim sudah mengungkapkan hal tersebut kepada Presiden Amerika, Barrack Obama. "Indonesia pasar yang terbuka," kata Jokowi, yang kemudian diikuti isu kalau Indonesia akan bergabung dengan TPP.
Terkesan singkat. Tapi pesan yang memang benar-benar harus dipertimbangkan serius oleh Amerika. Langkah pemerintah tersebut diperkuat dengan pendekatan politis-ekonomis dengan China, yang merupakan 'lawan' terbesar dan terkuat dari geng Amerika.
Kereta cepat Jakarta-Bandung salah satu contoh pesan kuat pemerintah untuk Amerika.
Proyek Kereta Cepat ini tak ubahnya proyek pembangunan Monumen Nasional dan Stadion GBK saat masa pemerintahan Presiden Soekarno. Saat itu, untuk apa Soekarno menghamburkan uang untuk membangun Monas dan Stadion dengan kapasitas terbesar kedua di dunia setelah Rio de Jenerio di Brazil? Padahal Indonesia baru saja merdeka.
Langkah ini dilakukan Soekarno untuk menunjukkan pada dunia, Indonesia adalah negara berdaulat sama seperti negara lain di dunia. Simbolnya ya dua proyek nasional itu.
Sama pertanyaannya saat ini. Untuk apa pemerintah ngotot membangun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ditengah kondisi ekonomi yang sulit? Padahal, dipelosok sana, masih banyak anak-anak sekolah yang harus melintasi sungai untuk pergi ke sekolah.
Tak lain tak bukan untuk menunjukkan pada dunia kalau Indonesia pasar yang terbuka--sekali lagi Indonesia pasar yang besar dan terbuka. Sehingga sebenarnya, tanpa harus bergabung dengan berbagai skema perdagangan dunia seperti TPP dan MEA pun, kita masih bisa menggelar lapak terbesar di Asia Tenggara. Lalu mengapa harus mengemis pada mereka?
Itulah mengapa dipilihlah China sebagai penggarap proyek kereta cepat--bukan Jepang yang masuk geng Amerika di dalam TPP, sementara China justru secara tidak langsung menjadi lawan dari geng Amerika di TPP.
Itulah kenapa yang berguguran diawal tahun ini adalah industri yang digarap negara-negara TPP, dan Ford-nya Amerika benar-benar bisa menjadi simbol perlawanan pemerintah. Langkah ini diperkuat dengan hadirnya pabrikan-pabrikan China semisal Wuling yang jelas-jelas disediakan fasilitas untuk membangun pabrik.
Sementara Jepang, yang sudah mengakar dan banyak berkontribusi dalam pertumbuhan industri otomotif nasional, mulai tahun ini harus lebih waspada. Karena pemerintah pun bukan tidak mungkin menggulung para Jepang yang tidak kompetitif dan tidak mau berinovasi di negara ini.
Perlahan tapi pasti, merek otomotif Jepang yang tidak kompetitif akan angkat kaki dari Indonesia.
Editor | : | Bagja |
KOMENTAR