Honda Maestro, Nyaris Full JDM

billy - Rabu, 7 Desember 2011 | 15:07 WIB

(billy - )

 
JAKARTA - Saat Kahar mulai sukses dengan usaha grafirnya, pria ulet ini akhirnya membeli Toyota Avanza untuk keperluan wara-wiri maupun berakhir pekan dengan keluarga.

Hanya saja, ada satu keinginan yang belum kesampaian. Yakni memiliki Honda Maestro yang selalu diidamkan sejak masih zaman sekolah dulu. “Desain sedan saloon dari Honda yang enggak pernah ada matinya,” ungkapnya singkat.

SUDAH 90%
Makanya perburuan Honda Maestro yang dilakukannya 5 tahun silam berbuah manis dengan membawa pulang seri keluaran terakhir dengan tahun pembuatan 1992-1993.

Namun itu cerita zaman dulu, saat pertama kali dapat Meastro berkelir hitam solid. Lebih dari itu, dream car back to 90s ini tak dibiarkan standar. Selama 5 tahun berada di tangannya, sudah banyak ubahan yang dilakukan.

Cita-cita dalam benaknya hanya ada satu. Membuat sang Maestro tampil elegan dengan pernik atau aksesoris khas JDM (Japan Domestic Market) dan USDM (United States Domestic Market). “Sekarang baru 90% karena parts seperti plafon, wiper kaca belakang dan pelek versi sport belum kesampaian,” jelasnya.

Padahal kalau melongok mobilnya sekarang, hampir tak ada lagi yang tersisa dari Maestro versi lokal. “Ya itu tadi, tinggal plafon, wiper kaca belakang dan peleknya saja tetapi itu tidak lama lagi karena barang-barang tadi sedang OTW,” terang Kahar.

Nanti saat mobil dicat ulang dengan kelir yang sama, Kahar baru memasang kekurangan tadi hingga mobil bisa dicap 100% full JDM/USDM. Kalau enggak percaya, tinggal runut satu persatu mulai dari bumper depan hingga berakhir pada bumper belakang.

Bagian apron, Kahar memadukan muka dari Maestro tahun lama dengan bumper versi JDM. Alasannya cukup sederhana. “Tampilan apron Maestro lama lebih bagus karena lampu utama dikelilingi list chrome, beda dengan versi tahun terakhir yang tak lagi memakai list chrome,” bisiknya.

Jadi serasi dengan bumper Jepang yang dilengkapi dengan parking pole (tiang patokan parkir) chrome menyerupai antena dan lampu kabut model tumpuk dengan lampu sein. Melipir ke samping, bumper tak polos seperti versi lokal. Melainkan sudah dilengkapi intersection lamp berwarna putih di kiri-kanan bumper depan.

Naik ke atap, Kahar tak mau tanggung-tanggung dengan mencangkok sunroof elektrik milik Maestro versi Amrik. “Sunroof eks-limbah saya bedel hingga pinggiran tulangnya jadi saat mengelas atap bisa tetap rapi,” ujar Kahar. Dipadu dust shield bertuliskan ‘Honda’, makin mengukuhkan aksen USDM.

Mundur ke belakang alias bagasi, ada ciri unik yang tak didapat pada Meastro versi lokal. Kap bagasi, lampu belakang dan bumper belakang mencomot dari versi sport coupe alias dua pintu. Bentuk kap bagasi lebih rounded dengan lampu belakang besar yang juga menyesuaikan bibir bagasi.

“Kalau yang ini memang agak jarang karena versi coupe tak banyak di Asia,” sahut pria yang bermarkas di Alam Sutra, Tangerang ini. Selesai sudah bagian eksterior diopreknya. Seharusnya, pemilik Maestro manapun di Indonesia sudah bisa puas.

Ternyata tak berlaku bagi Kahar. Selama interior belum versi JDM atau USDM, perburuan belum usai. Perlahan tetapi pasti, Kahar mengumpulakn pernik interior seperti door trim, jok depan dan belakang, center console, arm rest dan rumah handbrake, panel kontrol AC, cluster spidometer, sun visor, asbak non-smokers hingga bagage access.

Betul, Maestro versi luar memiliki akses untuk mengambil barang di bagasi dari kabin penumpang. “Cukup melipat sandaran jok belakang, langsung bisa tembus ke bagasi,” bangganya. Hal unik lainnya adalah laci mirip asbak yang bertuliskan ‘personal box’.

Pada Maestro versi lokal, perangkat tadi tak lain adalah asbak. Tetapi untuk versi negara maju, asbak tadi berubah fungsi untuk menyimpan barang kecil. “Alasnya saja beludru merah sehingga bukan untuk puntung rokok atau bara api,” kekehnya.

Belum kelar mengagumi detil interior yang unik, Kahar menunjuk ke arah spidometer. Cluster versi JDM berhasil didapat dengan tampilan elegan karena di sekeliling bak spidometer dan tachometer ada lis chrome. “Angka top speed hanya 180 km sesuai standar Jepang dan lampu cluster berwarna oranye,” jelasnya panjang lebar.

Sering bikin keder saat dipakai kencang di jalan tol. Bukannya apa-apa, mesin H22 (2.200 cc) versi STi yang dipakainya untuk menggantikan mesin lawas, kerap mengajak jarum spidometer sampai mentok di angka 180 km/jam.

Padahal pelek BBS LM three pieces berdiameter 18 inci dengan lebar belang 8 dan 9 inci, seharusnya membuat jarum spidometer termanipulasi dan bergerak lebih lambat ke angka top speed. Ternyata gak juga tuh!  (mobil.otomotifnet.com)