"Kalau (pasokan bahan bakar) gasnya sih gak ada masalah, jadi (problemnya) lebih ke SPBG-nya, stasiun pengisiannya," lanjutnya.
Secara matematis, biaya operasional bus BBG disebut Yoga jauh lebih hemat ketimbang bus berbahan bakar solar.
"Tapi ya itu tadi, saat ini suplainya susah dan mengganggu operasional armada kami," jelasnya.
Pada akhirnya, mulai tahun 2015 Transjakarta memutuskan untuk secara bertahap kembali menggunakan bus berbahan bakar minyak.
"Kami mix antara BBG dan BBM, kedepannya juga akan kami tambah dengan armada listrik. Kalau tidak salah, dari total keseluruhan armada kami, presentasenya itu 30-35 persen menggunakan BBG, sisanya diesel," tutup Yoga.