Ia mengatakan, Pertamina selama ini mengandalkan subsidi silang dalam bisnisnya.
Hal ini berbeda dengan Solar dan Pertalite, di mana selisih harganya ditanggung pemerintah melalui subsidi BBM.
Kerugian dalam penjualan Pertamax, selama ini ditutup dari keuntungan besar penjualan minyak di hulu.
Ia mencontohkan, Pertamina yang juga mengebor minyak, sempat menikmati keuntungan besar saat harga minyak mentah dunia melambung tinggi.
"Saat harga (minyak mentah) naik, kita untung di hulu. Tapi beban (rugi) di hilir. Makanya tahun lalu kita masih untung," ungkap Nicke.
Nicke melanjutkan, sebagai perusahaan negara, Pertamina harus menerima konsekuensi penugasan dari pemerintah untuk ikut mengurangi dampak negatif dari kenaikan harga minyak.
Menurut Nicke, porsi penjualan BBM Pertamina sebagian besar dikontribusi dari BBM subsidi.
Sehingga hitungan untung rugi perusahaan masih sangat bergantung pada subsidi yang diberikan APBN.
"Sekarang BBM subsidi 87 persen dari total penjualan, PSO. Itulah BUMN (yang membedakan dengan swasta), itu (jual rugi Pertamax) beban Pertamina," kata Nicke.
"Ini yang harus dilihat pemerintah 3 yang balance (seimbang) yakni daya beli masyarakat, badan usaha sehat, dan APBN sehat," tambah dia. Nicke berujar, Pertamax dijual rugi sepenuhnya ditanggung Pertamina.
Sementara APBN hanya menanggung selisih harga Pertalite dan Solar.
"Kalau kita lihat kategorinya (Pertamax) dalam regulasi adalah JBU (Jenis BBM Umum) yang harganya itu fluktuatif disesuaikan ICP, floating price. Tapi Pertamax kemudian pemerintah mengendalikan juga harganya," ucapnya.
Baca Juga: Harga Pertamax Eceran Ngalahin Pertamax Turbo di SPBU, Seliter Rp 17 Ribu