Otomotifnet.com - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan sebagian besar tuntutan 32 warga dalam citizen lawsuit pencemaran udara Jakarta (CLS Udara).
Adapun tergugat I, tergugat II, tergugat III, dan tergugat IV masing-masing adalah Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan dan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan.
Dengan demikian, keempatnya tetap dinyatakan bersalah dan harus melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
Dalam putusannya, majelis hakim menghukum kelima tergugat agar melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
Majelis hakim menghukum Presiden untuk menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem.
Dari ketiga komponen tersebut, termasuk juga di dalamnya kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Majelis hakim juga menghukum Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar melakukan supervisi terhadap Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam melakukan inventarisasi emisi lintas batas ketiga provinsi.
Majelis hakim juga menghukum Gubernur DKI Jakarta untuk melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang mengenai ketentuan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara dan atau ketentuan dokumen lingkungan hidup.
Atas kemenangan ini, warga menanti pemerintah segera menjalankan amanah putusan pengadilan.
Pada Oktober 2022, warga telah memenangkan perkara atas gugatan polusi udara di Jakarta setelah Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menguatkan putusan atau vonis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Dikutip dari Kompas.id, Elisa Sutanudjaja, sebagai perwakilan warga penggungat dari Koalisi Ibu Kota menyayangkan langkah lambat pemerintah dalam mengimplementasikan keputusan pengadilan tersebut.
Pekan lalu, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta baru menyerahkan Peraturan Gubernur mengenai Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) untuk ditandatangani Penjabat Gubernur DKI.
Adapun tiga strategi dalam SPPU ialah meningkatkan tata kelola pengendalian pencemaran udara, mengurangi emisi pencemaran udara dari sumber-sumber bergerak seperti transportasi, dan dari sumber yang tidak bergerak seperti industri.
"Implementasi dari regulasi regulasi tersebut masih sangat lambat," ujarnya.
Padahal, secara hukum, pemerintah seharusnya bergerak lebih cepat, terutama seusai Koalisi Ibu Kota ini memenangkan gugatan warga negara pada 2021.
Juru Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu turut menyayangkan, lambatnya pengesahan Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU).
Padahal, rancangan SPPU tersebut telah ada sejak 2021.
Dia menyebut, pascakemenangan gugatan tersebut, pemerintah masih setengah hati dalam mengimplentasikan amanah putusan pengadilan.
Saat bersamaan, selama 2 tahun ini, kualitas udara justru semakin memburuk, dan kian banyak masyarakat yang terdampak.
"Pemerintah sepertinya menunggu viral (polusi udara) baru mau bergerak lagi. Padahal, kalau dilihat selama dua tahun ini ada berapa orang yang menjadi korban dari polusi udara," tutur Bondan.
Lebih lanjut, Bondan berharap untuk langkah berikutnya, pemerintah lebih mengedepankan rencana strategis dan solusi jangka panjang.
Rencana tersebut di antaranya adalah inventarisasi emisi secara berkala, pengetatan baku mutu udara ambien, serta sistem peringatan dini.
Baca Juga: Transportasi Kambing Hitam Polusi Udara di Jakarta, Media Asing Sampai Sebut Beracun