Otomotifnet.com - Setelah hadir lebih dari 40 tahun di Tanah Air membawa kendaraan mesin diesel, kini Isuzu memperkuat keberadaanya dengan membawa teknologi mesin terbarunya.
“Sebenarnya common rail sudah cukup lama diterapkan di Isuzu Jepang, tetapi di Indonesia masih baru karena keterbatasan kualitas Solar,” jelas Maman Fathurrohman, Marketing Communication Departement Head PT Isuzu Astra Motor Indonesia.
Prinsipnya, teknologi ini menggunakan tekanan tinggi pada semprotan bahan bakar, yang kemudian disalurkan ke seluruh injektor secara merata melalui rel pipa yang disebut common rail. Tujuannya, semoga seluruh bahan bakar yang masuk dikabutkan hingga terbakar sempurna.
Pada mesin diesel konvensional, tekanan yang digunakan pada injektornya ‘hanya’ sekitar 40 bar, sedangkan common rail bisa menahan lebih dari 1.000 bar.
Lalu, apa saja sih kelebihannya?
Penggunaan tekanan yang lebih tinggi, membantu penyemprotan bahan bakar pada injektor dengan kepresisian yang lebih baik juga. Pada mesin diesel, hal tersebut membantu meningkatkan output tenaga kendaraan.
Contoh saja Isuzu Panther yang belum menggunakan teknologi common rail, output maksimumnya hanya 79 dk meskipun sudah menggunakan turbocharger. Sedangkan pada Mu-X, yang mesinnya sama-sama berkapasitas 2,5 liter, tetapi output-nya mencapai 134 dk.
“Pada mesin common rail yang digunakan Isuzu di Indonesia, biasanya tekanannya dibatasi hingga 1.250 bar, kalau di Jepang sudah lebih dari 3.000 bar,” terang Reiner Tandiono, Departement Head Isuzu Training Center Indonesia.
“Gumpalan kerak karbon pada Solar yang berkualitas buruk dapat merusak tip injektor, karena memaksakan kotoran padat melewati lubang yang sangat kecil. Di Isuzu, cara mengatasinya adalah dengan menurunkan tekanan common rail dan melapisi ujung injektor dengan bahan DLC (Diamond-Like-Carbon),” lanjut Reiner.
Tuntutan emisi gas buang yang lebih bersih membuat pabrikan perlu memperbaiki teknologi mesinnya hingga bisa mengikuti standar yang telah ditentukan.
“Dengan teknologi common rail, di Jepang kita sudah bisa membuat mesin diesel hingga mengikuti peraturan emisi Euro IV, sedangkan di Indonesia tekanannya diturunkan karena hanya perlu memenuhi Euro II,” tambah pembicara di event Isuzu Diesel Training Day (12/3) tersebut.
Pada standar Euro II untuk kendaraan berpenumpang bermesin diesel, jumlah NOx (Nitrogen oksida) dan HC (Hidrokarbon) wajib lebih kecil dari 0,7 g/km dan CO (Karbon monoksida) 1 g/km. Sedangkan pada Euro IV, jumlah NOx dan HC harus ditekan hingga 0,3 g/km dan CO lebih kecil dari 0,5 g/km.
Meskipun teknologi sudah jauh lebih canggih dibanding mesin diesel konvensional, tetapi perawatannya diklaim lebih sederhana.
Berbeda dengan injektor diesel konvensional yang membutuhkan kalibrasi setelah pemakaian beberapa lama, injektor common rail tidak membutuhkannya, karena semua sudah diatur dari ECM (Engine Control Module).
“Injektornya tidak perlu dikalibrasi, hanya perlu dibersihkan dengan menuang cairan injector cleaner ke tangki bahan bakar jika mulai terasa mampet. Indikasi awalnya akan terasa bergetar karena mesinnya pincang,” tambah Reiner.
Sayangnya jika kotoran dari Solar sampai tidak dapat dibersihkan, mau tak mau injektornya perlu diganti dan pasti harus merogoh kocek cukup dalam. Untuk mencegahnya, Isuzu menyarankan untuk memasang filter Solar tambahan dan menggantinya saban 20 ribu km.
Editor | : | Otomotifnet |
KOMENTAR