Menurut Suryanto Hariadi, konsultan dari Automotive Business Consulting ada beberapa langkah yang mesti dilalui. “Mulai dari desain hingga peluncuran produk. Itu bisa memakan waktu hingga 5 tahun,” ujar lelaki yang akrab disapa Pak Yan ini.
Hal ini diamini pula oleh Pradipto Sugondo, Executive Officer, Research & Development Division PT Astra Daihatsu Motor (ADM). “Memang setiap pabrikan punya tahapan yang berbeda sesuai dengan ‘resep’ nya masing-masing. Tetapi secara garis besarnya hampir sama,” ujarnya.
Pak Yan memperinci paling tidak ada ada 11 tahapan yang mesti dilalui: mulai dari proses survei pasar, desain bodi secara keseluruhan, desain mesin, sampai pada pengujian teknis kemampuan masing-masing dari setiap komponen yang akan terpasang. Yaitu melihat apakah secara engineering memungkinkan untuk diproduksi atau tidak.
Di Daihatsu sendiri biasanya tahap awal yang dilakukan adalah melakukan visibility study. Maksudnya dilakukan survei oleh tim marketing kepada calon konsumen. Layak enggak dijual, produk seperti apa yang diinginkan, ada enggak pasarnya, spek teknis apa yang dibutuhkan serta biaya yang diperlukan. “Di sini kami mencari banyak masukan dari calon konsumen.”
Setelah itu baru dilanjutkan dengan membuat development proposal. Tahap ini untuk merumuskan produk apa yang akan dibuat. “Ibarat hendak menembak target, yang di sini adalah konsumen, amunisi yang digunakan itu apa (produk). Pada tahap inilah hal itu dirumuskan,” lanjut Pradipto.
Pada tingkat ini tim desain sudah mulai membuat styling development. Hingga dibuat clay modelnya. “Bentuk asli dengan menggunakan tanah liat. Ukurannya sesuai produk yang akan dibuat,” tambah Budhi Santoso, Senior Test & Experiment Enginer ADM.
Selanjutnya, semua rancangan tadi dikirim ke bagian engineering untuk dibuat prototype-nya. Barangnya dibuat persis seperti yang diinginkan tapi prosesnya masih belum menggunakan produksi masal. “Ada yang dikenteng atau bor dengan masih menggunakan tangan,” lanjut Pradipto.
Pada produk prototype ini akan dilakukan tiga tahap pengetesan. Awal, Tengah dan Akhir. Di tahap awal pengujian dilakukan pada bagian under body. “Seperti mesin, drive train, rem, semua komponen fungsional dites,” jelas Budhi.
Lantas uji Tengah, yaitu dilakukan pada bagian interior dan bodi. Pada tahap ini dicek semua fungsi komponen dan fitur. Baru masuk pada fase akhir dengan melakukan pengetesan dengan menggabungkan keduanya. “Tahap ini biasanya 1-2 tahun sebelum mobil dilahirkan.”
Setelah semua beres baru dilanjutkan ke durability test. Ada tiga hal yang harus dilakukan, Trail, Pilot Production (PP) dan Sales Volume Production (SVP). Trail untuk mengetahui alat produksi bisa digunakan untuk membuat mobil ini apa enggak. Sedangkan PP sudah menghitung waktu pembuatannya. Tahap ini sudah mendekati produk masal.
Pada level ini juga mobil akan diuji ketahanannya selama 6 bulan. Caranya dengan melakukan tes jalan di jalanan langsung. Biasanya jarak yang ditempuh sejauh 30.000 km. Semua komponen dan fitur diuji ketahananya. “Pada saat ini biasanya akan ketahuan jika ada kekurangan atau masalah pada komponen atau bagian lain mobil. Jika ada langsung diperbaiki atau disempurnakan,” terang Pradipto lagi.
Setelah itu dilanjutkan dengan tahap produksi masal. Pada tahap development, saat yang bersamaan production planning juga sudah berjalan, sehingga saat produksi masal sudah siap.
Dari situ diambil satu untuk dilakukan pengetesan durability lagi sejauh 100.000 km. Tujuannya untuk mengetahui kemampuan akhir sekaligus untuk mengetahui ketentuan garansi yang akan ditetapkan.
Pada proses inilah dikenal dengan proses validasi. “Uji validitas itu berbeda dengan uji kelaikan untuk layak jalan,” cetus Pak Yan lagi. Nah, untuk proses validitas biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Sebab, sebagai bahan uji adalah komponen atau rangkaian komponen yang sebenarnya siap untuk diproduksi massal . Dengan kata lain, memerlukan sejumlah prototipe yang nantinya diproyeksi untuk diproduksi massal. “Seperti ketika kami membuat mobil Beta97, tahun 1997. Kami sudah menyiapkan 50 set untuk dilakukan uji validasi,” tutur Pak Yan yang terlibat dalam proyek mobil Bakrie itu.
Ia menceritakan, ketika membuat mobil Bakrie ini, uji validasi membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Mulai pengujian sasis, hingga per yang digunakan. “Tes ketahanan per itu di Leyland, Inggris untuk melihat apakah per yang digunakan itu bisa menempuh jarak yang ditentukan. Minila jaraknya 100 ribu km. Tetapi untuk pengujian, biasanys dikalikan 4, yaitu 400 ribu km,” jelasnya lagi.
Belum lagi untuk komponen-komponen lain. Sayangnya, sebelum mendekati batas akhir pengujian, proyek mobil Bakrie itu dihentikan dari si empunya modal. Proyek senilai 100 juta dollar AS itu, akhirnya berhenti setelah menyerap danan 40 juta dollar AS.
Tak salah kiranya, kalau pabrikan mobil Jepang, Korea ataupun Malaysia, membutuhkan waktu tidak sedikit untuk melakukan pengujian itu. “Saya tak usah menyebutkan mereknya, tetepi, ketika membuat footstep untuk sepeda motor saja, pihak prinsipal Jepang mesti melakukan pengujian validasi terhadap komponen itu. Terlepas dari persoalan politis dan skema bisnis yang dipakai, setelah melakukan pengujian yang cukup lama, toh akhirnya footstep itu tidak jadi diaplikasi lantaran tak memenuhi syarat.”
Makanya, ketika khalayak ramai membicarakan perihal mobil nasional Pak Yan yang beberapa kali bekerja di perusahaan otomotif Jepang itu, mengatakan masih panjang perjalanan industri kendaraan nasional. Pasalnya, selain belum tersedianya peralatan pengujian yang memadai, secara regulasi pemerintah juga belum mendukung. (mobil.otomotifnet.com)
Editor | : | billy |
KOMENTAR