|
OTOMOTIFNET - Isu mengenai pembatasan bahan bakar minyak (BBM) Premium masih mengambang. Jika sebelumnya akan dimulai bulan Oktober ini, kemungkinan besar diundur hingga tahun 2011. Banyak reaksi dan komentar mengenai kebijakan ini, mulai dari yang menentang, namun tak banyak pula yang mendukung.
Mengukur teknologi dari berbagai negara di belahan dunia ini, rasanya sudah banyak yang meninggalkan BBM beroktan 88. Bahkan rasanya di antara negara tetangga, tinggal Indonesia saja yang mengonsumsi bensin sekelas Premium. Jangan-jangan, sebenarnya memang teknologi mesin masa kini sudah mulai bergeser yang menuntut pemakaian bensin beroktan lebih tinggi.
Nah, daripada berspekulasi mengenai kebijakan pembatasan Premium, yang mungkin saja sudah terjadi pada suplai di Pulau Jawa. Mending kita tilik yuk tinjauan teknis mengenai pemakaian bensin beroktan lebih tinggi.
Ambil saja contoh isu yang santer beredar selama ini ketika peraturan pembatasan pemakaian Premium diperuntukkan mobil di atas tahun 2005. Alasannya apa? Toh, nyatanya banyak mesin keluaran sebelum itu yang sudah perlu pakai BBM oktan tinggi. Belum lagi perkiraan setelah pemakaian setelah beberapa waktu, ternyata mesin juga perlu bensin oktan tinggi. Jadi, siapa tahu, pakai bensin sekelas Pertamax alias nonsubsidi bisa lebih untung?
Sesuaikan Spesifikasi Mesin
Cukup banyak pertanyaan masuk ke redaksi mengenai bensin apa yang sebaiknya digunakan oleh kendaraan kesayangan. Menjawabnya cukup mudah, karena tinggal disesuaikan dengan spesifikasi masing-masing mesin. Cuma memang perlu sedikit usaha untuk membuka kembali buku panduan pemilik untuk melihat rekomendasi bahan bakar yang disarankan pabrikan. Syukur-syukur sih masih menyimpan brosur waktu beli.
|
Hasil test OTOMOTIF menunjukan perbaikan kualitas performa |
Maka, jangan kaget kalau sebenarnya mobil sebelum 2005 pun sudah minta spek bensin di atas Premium. "Rata-rata mobil keluaran Eropa sudah minta Pertamax atau lebih," ulas Taqwa SS, tuner dan pemilik bengkel Garden Speed di Cilandak, Jaksel. Walau tak dipungkiri banyak juga lansiran Jepang yang minta BBM oktan tinggi.
Ambil contoh, Toyota Corolla GTi keluaran 1990-an. Menurut Taqwa, sudah perlu pakai bensin oktan 92. Belum lagi mesin mobil Eropa yang rata-rata punya kompresi tinggi. "Memang tidak ada patokan pasti. Tapi bisa dikatakan kalau kompresinya di atas 9, sebaiknya pakai oktan 92," imbuh ayah dua anak ini.
Tapi ingat juga, teknologi mobil masa kini dengan sistem injeksi bahan bakar juga mengaplikasi knock sensor yang bisa mengurangi gejala ngelitik. Maksudnya, setting pemetaan bahan bakar dan timing pengapian bisa berubah kalau mesin mendeteksi adanya gejala ngelitik.
Namun, bagaimana kalau mesin dipaksa terus menenggak bahan bakar beroktan rendah, kira-kira apa akibatnya? Bisa jadi pembakaran malah tidak sempurna karena semua setelan berubah. Maksudnya, timing pengapian tidak bisa lagi mengejar titik bakar BBM yang rendah. Alih-alih, justru bikin timbunan kerak pada ruang bakar. Tumpukan kerak ini nantinya bisa mengubah karakter mesin. Bagaimana caranya?
Jelasnya, kerak yang ada di ruang bakar akan mengurangi volume ruang itu. Walau hanya berukuran millimeter, tapi bandingkan dengan isi silinder yang hanya beberapa cc. Alhasil, rasio kompresi jadi berubah. Karena ruang bakar lebih kecil, sementara isi silinder tetap, maka rasio kompresi akan naik.
"Misalkan kompresi standar mobil 10:1, karena kerak kompresi bisa naik sampai 10,4:1," papar mekanik yang lagi serius bikin mobil drifting ini. Hal ini menjelaskan kenapa mobil yang dari baru menenggak Premium, mulai ngelitik setelah pemakaian beberapa waktu. Kemungkinan terjadi timbunan kerak di ruang bakar dan membuat kompresinya naik. Sehingga gejala ngelitik tidak terhindarkan lagi.
Mungkin sudah saatnya, kita beralih dari bensin oktan 88 ke BBM yang punya angka oktan lebih tinggi. Toh, berbagai keuntungan bisa didapat. Selain performa mobil lebih baik, juga konsumsi bensinnya bisa lebih ditekan, apalagi emisi yang dihasilkan pasti berkurang. Enggak percaya, coba lihat boks perbandingan pemakaian oktan 88 dengan 92.
Penulis/Foto: Rio, Manut / Johan
Editor | : | Editor |
KOMENTAR