PARKIR ILEGAL
Potensi penerimaan retribusi dari parkir on street itu pernah disampaikan Yayat Supriatna, pengamat tata ruang dari Universitas Trisakti Jakarta. “Kalau dari jumlah ruas parkir, Jakarta ini luar biasa besar. Bahkan ada kecenderungan peningkatan secara signifikan. Kalau sebelumnya ada 12 ribu, sekarang diperkirakan mencapai angka 14 ribuan,” ujar Yayan.
Yang jadi pertanyaan, dengan peningkatan yang besar itu, penerimaan retribusinya hanya Rp 21,8 miliar tahun 2011. Coba kalau per ruas itu setor Rp 100.000 kali 12.000 saja maka akan terkumpul Rp 1,2 miliar sehari.
Tetapi berbagai persoalan mencuat di sini. Boleh dibilang sebagian besar tukang parkir tidak menyetor ke Unit Pengelolaan Perparkiran (UPP) DKI. Alasannya beraneka ragam. Seperti juru parkir di sepanjang Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Jakarta Barat. Mereka mengaku justru tidak ditarik lagi setelah kedua ruas jalan itu dinyatakan larangan parkir on street. (Baca box : Menangguk Rupiah Di Rambu Larangan Parkir).
Di Jalan Gajah Mada tepatnya di depan Gajah Mada Plaza malah secara terang-terangan parkir dikelola sebuah ormas. Tanpa sungkan, sebagian diantaranya mengenakan seragam ormas dimaksud. Dipastikan, pendapatan parkir di sini masuk kantong pribadi.
Di areal Pasar Jatinegara Mester yang merupakan kantong parkir on street cukup padat, juru parkir lebih tunduk kepada mafia parkir yakni preman dan ormas ketimbang pada petugas berseragam dari UPP.
Menurut Ujang, juru parkir di Jatinegara, setoran terbagi atas 3 kepentingan. “Pertama buat aparat keamanan (polisi), kedua untuk bos besar (penguasa parkir yang ngepul uang setoran) dan ketiga dengan dalih keamanan warga (ormas),” ungkap Ujang.
Dari ketiga elemen itu, setoran retribusi resmi disalurkan oleh bos besar. “Soal berapa setorannya ke UPP, saya tidak tahu. Yang saya tahu, ada orang berpakaian dinas Pemda rutin datang tiap bulan. Kabarnya minta setoran,” kata Ujang serius.
DILINDUNGI OKNUM
Enrico Fermy, Kepala Unit Pengelola Perparkiran (UPP) DKI Jakarta mencoba memberi keterangan lebih komplit. Bahwa telah ada perbaikan sistem penarikan retribusi dari parkir on street sehingga untuk kali pertama melampaui target penerimaan tahun lalu. Yakni dari Rp 21,4 miliar berhasil mengantongi 21,8 miliar.
Perbaikan sistem itu mencakup simulasi kemampuan ruas jalan dan estimasi rata-rata pendapatannya. “Ini kami lakukan setiap 2 minggu sekali. Baik pada saat siang, malam dan weekend. Jadi ini untuk mendapatkan update terbaru kondisi ruas jalan untuk parkir on street,” ungkap Enrico.
Namun diakui pria berdarah Minang ini, bukan perkara mudah melakukan penertiban parkir on street. “Karena salah satunya dilindungi oknum-oknum. Di sisi lain, petugas parkir kami yang resmi sekitar 2.000 an. Petugas parkir resmi itu dilengkapi ID Card di dada dan surat tugas,” terangnya.
Enrico juga menjelaskan bahwa UPP di bawah Dinas Perhubungan yang dipimpinnya hanya mengelola 5 persen dari perparkiran di Jakarta. Yakni taman parkir di Blok M, Mayestik, Pasar Menteng, Monas dan Gedung Pasar Baru. Ditambah parkir on street.
Sedangkan 75 persen yang di gedung parkantoran dan mal itu dikelola Dispenda. Sebanyak 20 persen lagi merupakan parkir kantor pemerintahan dan PD Pasar Jaya. “Pembagiannya, 20 persen masuk pajak. Sisanya 80 persen milik pengelola dan operator parkir,” sebut Enrico.
SEWA LAHAN
Menurut Prof. Eryus AK, MSc, PhD, pakar manajemen transportasi, sudah lama parkiran on street dikuasai yang kuat (preman, ormas hingga aparat). “Tidak ada yang berani melarang atau menertibkan, sehingga uang retribusi tidak masuk ke Dispenda,” jelas Eryus.
Di mata Eryus, justru parkir on street inilah yang menjadi penyebab kemacetan. “Semestinya parkiran pinggir jalan ini dibenahi lebih dahulu, jangan terburu-buru menaikkan tarif. Jika tidak ditertibkan akan tetap macet,” paparnya.
Kalaupun parkiran on street di legalkan, perlu diatur agar efektif. “Pertama siapkan payung hukumnya agar tidak tumpang tindih dan pungutan retribusinya mutlak disetorkan kepada Pemda. Kemudian untuk mengoptimalkan retribusi parkir pinggir jalan ini, semestinya tak dihitung berdasarkan karcis yang terjual. Namun diwajibkan kepada pengelola parkir menyewa lahan yang digunakan dalam periode 1 bulan,” terang Eryus.
Mekanisme sewa ini dinilai lebih efektif. Sebab pendapatan retribusi yang didapat akan konstan setiap bulannya. Sehingga bisa dijadikan investasi bagi Dispenda sebagai lumbung pendapatan. Selanjutnya kontrol terkait keamanan dan prosedur pengelolaan juga harus berkesinambungan,” urai pria ramah ini.
Saat ini di DKI Jakarta diakui cukup banyak kantong parkir on street, sebagian besar ilegal. “Semestinya ditertibkan karena tidak efektif dan merugikan pengguna jalan. Jika ingin meningkatkan retribusi parkir, harus dimulai dari pangkal permasalahannya,” katanya lagi.
Sementara Tulus Abadi, ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta agar menormalisasi parkir on street. “Yang tidak resmi dibikin resmi. Agar tidak ada parkir liar lagi. Tujuan untuk mengoptimalkan pendapatan retribusi masuk Pemda,” tukas Tulus. (mobil.otomotifnet.com)