Jakarta – Jauh sebelum pemerintah Indonesia menggaungkan mobil low cost and green car (LCGC) yang mengandalkan sosok citycar, ternyata citycar (Kei Car)memiliki sejarah panjang di negeri asalnya Jepang. Perjalanan panjang bahkan sejak perang dunia ke-2.
Sejarah Kei Car bermula dari perang dunia kedua yang menyita banyak sumber daya alam untuk kepentingan dan perlengkapan perang, termasuk besi dan bahan bakar. Keadaan buruk itu membuat ekonomi negara-negara yang berperang di ambang kehancuran. Saat itu, krisis terparah dialami Jepang dimana penghasilan penduduknya sangat rendah.
Konsep Kei Car pertama kali muncul pada Juli 1949. Segmen kendaraan ini mula-mula diproduksi untuk menjawab kebutuhan akan kendaraan pribadi yang murah dan fungsional. Pada masa itu, peraturan yang ketat berkenaan dengan spesifikasi Kei Car diberlakukan. Hanya tersedia pilihan mesin 4 tak kapasitas 150 cc atau mesin 2 tak kapasitas 100 cc.
Demi performa yang lebih baik, peraturan direvisi pada tahun 1950 dengan menambah kapasitas mesin menjadi 300 cc dan 200 cc. Di tahun yang sama, kapasitas mesin resmi ditingkatkan menuju kelas 260 cc dan 240 cc. Tahun 1955, revisi kembali diberlakukan dengan meningkatkan mesin kapasitas 360 cc.
Subaru 360 tercatat sebagai kendaraan Kei termurah paling sukses di negara asalnya berkat keberhasilan terjual sebanyak 300 ribu unit. Fuji Heavy Industry yang memproduksi kendaraan ini secara massal pada tahun 1958 dengan harga jual di bawah $1.300 (sekitar Rp 12,5 juta).
Dengan bentuk serangga kepik, Subaru generasi paling awal memiliki panjang 2.990 mm dan mampu memuat 4 penumpang. Pengendara harus cukup puas dengan daya 16 dk yang dihasilkan mesin dua tak pendingin udara kapasitas 356 cc dengan 3 percepatan manual.
Melihat antusiasme terhadap Kei Car, para insinyur otomotif berlomba-lomba menambahkan berbagai fitur seperti rem cakram, karburator lebih besar, bahkan transmisi otomatis pada tahun 1960’an. Berlawanan dengan inovasi yang dilakukan, perusahaan Kei Car sempat mengalami kelesuan yang parah tahun 1970’an akibat berbagai peraturan dan regulasi emisi yang ketat.
Tahun 1976 menjadi tahun kebangkitan Kei Car. Hukum baru memperbolehkan peningkatan ukuran kendaraan menjadi 10 mm lebih lebar dan 20 mm lebih panjang dari ukuran semula.
Sedangkan regulasi kapasitas mesin semakin besar, dari 550 cc menjadi 660 cc dikeluarkan pada tahun 1990. Pada saat yang sama, pemerintah Jepang memberlakukan batas power yang dihasilkan maksimal 64 dk untuk kendali tingkat polutan udara.
Di saat era 1990-an pula, Suzuki memboyong Karimun ke Indonesia, diikuti Daihatsu dengan Ceria. Tak lupa, produsen Korea seperti Hyundai, Daewoo dan KIA turut memasarkan produk citycarnya di Indonesia. Tentu dengan spesifikasi yang berbeda dari Jepang, yakni bermesin 850-1.000 cc.
Kei car pada masa kini dikembangkan dalam bentuk electric car (EV). Salah satunya Mitsubishi i-Miev yang dilengkapi mesin MIVEC 12-valve tiga silinder kapasitas 660 cc yang menghasilkan daya 64 dk dan transmisi 4 percepatan otomatis. (mobil.otomotifnet.com)
Sejarah Kei Car bermula dari perang dunia kedua yang menyita banyak sumber daya alam untuk kepentingan dan perlengkapan perang, termasuk besi dan bahan bakar. Keadaan buruk itu membuat ekonomi negara-negara yang berperang di ambang kehancuran. Saat itu, krisis terparah dialami Jepang dimana penghasilan penduduknya sangat rendah.
Konsep Kei Car pertama kali muncul pada Juli 1949. Segmen kendaraan ini mula-mula diproduksi untuk menjawab kebutuhan akan kendaraan pribadi yang murah dan fungsional. Pada masa itu, peraturan yang ketat berkenaan dengan spesifikasi Kei Car diberlakukan. Hanya tersedia pilihan mesin 4 tak kapasitas 150 cc atau mesin 2 tak kapasitas 100 cc.
Demi performa yang lebih baik, peraturan direvisi pada tahun 1950 dengan menambah kapasitas mesin menjadi 300 cc dan 200 cc. Di tahun yang sama, kapasitas mesin resmi ditingkatkan menuju kelas 260 cc dan 240 cc. Tahun 1955, revisi kembali diberlakukan dengan meningkatkan mesin kapasitas 360 cc.
Subaru 360 tercatat sebagai kendaraan Kei termurah paling sukses di negara asalnya berkat keberhasilan terjual sebanyak 300 ribu unit. Fuji Heavy Industry yang memproduksi kendaraan ini secara massal pada tahun 1958 dengan harga jual di bawah $1.300 (sekitar Rp 12,5 juta).
Dengan bentuk serangga kepik, Subaru generasi paling awal memiliki panjang 2.990 mm dan mampu memuat 4 penumpang. Pengendara harus cukup puas dengan daya 16 dk yang dihasilkan mesin dua tak pendingin udara kapasitas 356 cc dengan 3 percepatan manual.
Tahun 1976 menjadi tahun kebangkitan Kei Car. Hukum baru memperbolehkan peningkatan ukuran kendaraan menjadi 10 mm lebih lebar dan 20 mm lebih panjang dari ukuran semula.
Sedangkan regulasi kapasitas mesin semakin besar, dari 550 cc menjadi 660 cc dikeluarkan pada tahun 1990. Pada saat yang sama, pemerintah Jepang memberlakukan batas power yang dihasilkan maksimal 64 dk untuk kendali tingkat polutan udara.
Di saat era 1990-an pula, Suzuki memboyong Karimun ke Indonesia, diikuti Daihatsu dengan Ceria. Tak lupa, produsen Korea seperti Hyundai, Daewoo dan KIA turut memasarkan produk citycarnya di Indonesia. Tentu dengan spesifikasi yang berbeda dari Jepang, yakni bermesin 850-1.000 cc.
Kei car pada masa kini dikembangkan dalam bentuk electric car (EV). Salah satunya Mitsubishi i-Miev yang dilengkapi mesin MIVEC 12-valve tiga silinder kapasitas 660 cc yang menghasilkan daya 64 dk dan transmisi 4 percepatan otomatis. (mobil.otomotifnet.com)