Pekan Olahraga Nasional (PON) mencuatkan harapan besar akan munculnya prestasi untuk bisa dibawa ke jenjang lebih tinggi seperti di level Asia Tenggara, Asia atau internasional. Tapi sayang, buruknya manajemen dan arah kebijakan pemerintah yang tak tepat membuat pesta olahraga terutama untuk PON XVIII Riau yang digelar di awal September ini jadi berkesan ala kadarnya atau malah mengejar seremonial saja.
Bagaimana dengan balap motor yang untuk ketiga kalinya ikut PON sejak 2004? Terlepas dari kegembiraan kontingan Jawa Barat yang jadi juara umum karena memborong 2 medali emas dan 1 medali perunggu, tapi pelaksanaan di lapangan masih belum sempurna dengan standar penyelenggaraan event road race nasional.
Sebelum hari Minggu (9/10), briefing sudah mulai panas karena persoalan aturan ban tunggal yang memberi kesan ada yang tak sinkron antara pihak PP IMI sebagai induk organisasi balap dengan Panitia Besar (PB) PON XVIII Riau. Karena berdasarkan kesepakatan dengan PB PON Riau maka produsen ban Corsa yang berhak menjadi penyuplai ban.
Tapi suara di lapangan ada yang memprotes kebijakan ini, harusnya aturan adalah aturan. “Kita berpegang dengan MOU yang kita bikin dengan PB PON Riau, ini jelas dasar hukumnya,” kata M Zein Saleh selaku PR PT Multistrada Arah Sarana Tbk, produsen ban Corsa.
Belum lagi proses undian motor lalu melakukan setting terbatas atau perbaikan yang pada hari Senin sore saat QTT juga panas karena permintaan salah satu kontingen yang meminta ganti motor tapi hanya diluluskan untuk tukar sasis saja.
Sebagai catatan, persiapan awal seputar alat lomba dan sirkuit Bangkinang Kampar terkuak banyak hal detail tak terurus seperti area paddock yang bebas dimasuki penonton, tenda paddock yang terbilang kecil, listrik yang sempat mati hingga genangan air di sekitar sirkuit karena minim drainase.
Belum lagi kondisi aspal sirkuit non permanen yang belum padat sehingga ada yang bumpy bahkan terkelupas, kurangnya pagar pembatas di beberapa titik membuat ada pembalap yang bablas menabrak mobil ambulans parkir.
Rasanya sungguh sayang kucuran dana APBD dikucurkan untuk acara yang digelar 4 tahun sekali saja, karena tanpa perawatan bisa dipastikan sirkuit Kampar ini akan rusak seperti nasib sirkuit Sekayu Palembang eks PON 2004 dan Sirkuit Kalan Samarinda eks PON 2008.
“Akan kita usahakan agar ada bantuan dari Pemda Kampar agar sirkuit ini bisa dirawat, terus meski sirkuit ini mengitari GOR tapi jalan masuknya tidak melewati jalur sirkuit,” janji Edy Horizon selaku ketua IMI Pengda Riau.
Nyatanya dengan sederet tetek-bengek yang ribet harus kembali dipikirkan soal perlu atau tidaknya balap motor untuk terus ada di PON. Dengan format balap yang sama sekali berbeda dengan kompetisi nasional maka balap motor di PON menjadi tak ada jenjang lebih lanjut.
Dengan platform aturan yang hampir setara maka motor untuk Motoprix bisa digunakan ke Indoprix lalu ke kelas Underbone 110 cc dengan adaptasi yang tak terlalu beda. Tapi di PON setidaknya mulai 2008 dan sekarang 2012 yang memakai motor yang sama sekali standar sehingga tak ada link and match ke level lebih tinggi.
Balap motor yang punya jenjang prestasi tersendiri yang mandiri sebaiknya didukung industri kuat sebagai sponsor. Toh, dari tingkat SEA Games, Asian Games hingga Olimpiade pun tak ada balap motor. Apa perlu dipertahankan balap motor pada PON XIX Jawa Barat pada 2016 nanti?. (otosport.co.id)