Brake Or Broke?

Editor - Senin, 18 Oktober 2010 | 07:43 WIB

(Editor - )

OTOMOTIFNET - Kebutuhan rem bukan hanya soal menghentikan laju mobil saja . Kian pelik setelah mesin berkapasitas kecil bertambah mampu menghasilkan daya besar.  Selain itu  teknologi ban mobil  sudah aman diajak ngebut hingga 200 km/jam lebih. Urusan brake batasnya tipis dengan broke(hancur) akbibat nabrak.

“Padahal tuntutan pemilik mobil soal rem sudah bukan sekadar berhenti. Namun merembet hingga sampai kestabilan dan kenyamanan,” terang Silvano Veglia,  marketing director  braking, Europe, Middle East and Africa, Federal Mogul, saat ditemui OTOMOTIF di Automechanika, Jerman, beberapa waktu lalu.

Tentu kita mesti berterima kasih dengan bantuan sistem elektronik seperti ABS(AntiLock Brake Sytem) dan EBD(Electronic Brake Distribution). Namun  ternyata, keluhan atau keinginan untuk pengembangan justru  terjadi pada peranti standar rem.

“Paling sering ditanyakan adalah hal mendasar seperti  material brake pads, kepakeman rem  hingga bunyi pada rem depan,” terang Nirun Tangchuthongcal, product manager Federal Mogul South East Asia, yang memproduksi peranti rem Ferodo.  Pria yang disapa Pock ini mengajak OTOMOTIF melihat  proses pembuatan hingga pengujian di pabriknya di kawasan Ayudhaya, Thailand. Beberapa  infonya berlaku umum bisa diterapkan untuk segala jenis mobil.

Material Kampas Rem

Banyak istilah ‘dagang’ yang kerap disalah-persepsikan. Misalnya kampas rem dari keramik padahal bahan ini hanya campuran luarnya saja. Setelah beberapa ratus kilometer maka keramiknya akan hilang. Untuk material dominan, setidaknya cuma ada tiga kelas di dunia ini. Pertama yaitu semi-metallic.

Dikembangkan pada awal  1970, dengan kandungan metal yang tinggi dicampur dengan graphite dan karbon. Keunggulannya yaitu punya daya tahan yang tinggi dan tambah hebat saat panas hingga 648 0C. Kelemahannya, daya friksi kurang baik saat dingin dan ada abu hitam di roda.

Kedua yaitu jenis Non Asbestos Organic(NAO) yang dikembangkan pada awal 1980. Tidak ada kandungan metal dan bebas dari serat asbes. Hanya performanya berkurang setelah dipakai agak lama atau saat rem panas pada 425 0C. Keunggulannya rem terasa nyaman terutama pada pemakaian normal.

Ketiga pengembangan low metallic pada tahun 1990. Jenis ini ada material metal namun sedikit , dipadu dengan graphite dan  karbon. Keuntungannya, senyaman NAO namun bisa bekerja pada temperatur panas yakni 537 0C. Kekurangannya ada serpihan debu pada roda.

Pelek Kotor

Enggak sedikit yang bertanya kenapa pelek depan sering kotor ada debu berwarna hitam, setelah pemakaian sekitar 100 km-an? “Itu normal saja,” terang Pock yang  lulusan sebuah universitas di  Australia ini.

Tidak perlu khawatir terjadi  pengikisan yang luar biasa atau brake pads abrasif. Ini disebabkan material terkini yang sudah NAO dan mengandung karbon/graphite.

Material brake pads ini akan ‘mengalah’ dan tetap punya umur pakai. Jika brake pads terbuat dari bahan yang super keras maka  umur cakramnya yang berkurang.

Pada umumnya daya pakai  brake pads berkisar 30 ribu kilometer untuk harian.

Berisik (Noise)

Hal yang satu ini cukup kerap dikeluhkan pemilik mobil. Sebenarnya apa sih berisik itu? Noise terjadi karena getaran dan amplitudo dari dua benda sehingga menimbulkan bunyi. Sayangnya enggak melulu karena kampas rem bertemu dengan rotor .

Banyak keluhan  terjadi disebabkan peranti lain seperti tie-rod hingga laher roda. Anehnya jika merambat ke peranti rem seperti cakram, maka brake pad kerap berperan sebagai ‘mikropon’ penghasil bunyi.

Nah berisik sendiri dibagi dalam beberapa jenis. Pertama pada frekuensi rendah(judder) berkisar 300 Hz. Biasanya disebabkan oleh disc atau cakram yang kotor atau enggak rata. Kedua medium frekuensi(squeal) antara 300-5KHz. Ini disebabkan oleh kaliper atau kaki-kaki mobil seperti tie-rod. Solusinya periksa kaliper termasuk brake pads dan kaki-kaki.

Ketiga, bunyi frekuensi tinggi(squeak) yang berkisar pada 5 KHz. Kebanyakan disebabkan bahan atau material dari kampas rem. Solusinya bisa dibersihkan atau malah ganti sekalian. Terakhir,  bunyi pada frekuensi sangat tinggi di atas 12 KHz. Untungnya di atas  batas pendengaran manusia.

Bagaimana jika diukur dengan dB meter? Dianggap normal jika berisiknya enggak lebih dari  70 dB. Nah jika bunyi merambat naik hingga 85 dB baru dianggap mengganggu. Sementara 105 dB sudah benar-benar mengganggu dan rem harus dibongkar total.


Penulis/Foto: Bil / Dok.Otomotif, Billy, Reza