Yang jelas, seperti disampaikan Danny Praditya, sekretaris jenderal CNG Association of Indonesia, kalau ingin orang berpindah memakai konversi BBG, harus ada disparitas harga dengan premium sekitar 60 persen. "Di negara yang telah menerapkan BBG, perbedaan BBM dengan BBG sekitar itu. Nah, sekarang momentum yang tepat menjelang kenaikan BBM 1 April, pemerintah memperhitungkan faktor itu," ujar Danny.
Saat ini harga BBG yang terdiri-dari LGV (Liquid Gas for Vehicle) atau biasa disebut elpiji dan CNG (Comprossed Natural Gas) masih Rp 3.100 per liter setara premium (LSP). Namun rencananya dalam waktu dekat sebelum 1 April, akan dinaikkan menjadi Rp 4.100 per LSP. Maka itu, dengan harga tersebut juga akan dimasukkan dalam asumsi penghitungan.
Ditambah dengan biaya pembelian converter kit sekitar Rp 12 juta (kelas menengah dan layak pakai), serta biaya berkala perawatannya , pemakai BBG memang harus menghitung peranti itu yang bisa dimasukkan kalkulasi komparasi.
Lalu bagaimana dengan asumsi kenaikan BBM? Meski pemerintah telah merencanakan kenaikan sebesar Rp 1.500,- tetapi tidak ada salahnya juga perlu dihitung dengan asumsi kenaikan Rp 1.000 dan Rp 2.000,-. Karena hingga saat ini masih berupa usulan, dan belum disetujui Dewan Perwakilan Rakyat.
"Sebaiknya memang diasumsikan dengan tiga nominal kenaikan itu. Dengan begitu, penghitungan biaya bisa lebih memudahkan pemakai kendaraan," ujar Subhan, Kepala Bengkel Astrido Daihatsu, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Menurut pria 36 tahun yang sudah 17 tahun berkecimpung di bidang perbengkelan ini, asumsi penghitungan difokuskan untuk pemilik kendaraan yang ‘minum bahan bakar' 8 dan 10 kilometer untuk 1 liter maupun yang LSP. Juga durasinya dipilih untuk yang 3 dan 5 tahun penggunaan, disesuaikan dengan masa berlaku minimal converter kit. "Dengan perawatan berkala terutama terhadap pipa pada converter kit, juga ada keluar biaya tambahan, meski tidak besar," lanjut ayah 3 anak ini.
Pengendara akan pilih BBM atau BBG, kata Subhan tergantung dari harga dasar itu sendiri. Kalau BBG tetap di kisaran Rp 3.100 per LSP, dan asumsi harga premium naik menjadi Rp 6.000/liter, BBG bisa menjadi pilihan alternatif. Tapi kalau dinaikkan menjadi Rp 4.100 per LSP, memang pilihan lebih banyak tetap memakai BBM.
Alasan tetap memakai BBM karena sudah terbiasa dan mudah didapatkan karena SPBU bertebaran di mana-mana. Selain itu, resiko bahaya lebih kecil dibanding BBG.
Sedang memakai BBG kelemahannya karena stasiun pengisian bahan bakarnya masih sangat terbatas. "Sebetulnya memakai BBG, terutama CNG itu juga aman kok. Yang sering terjadi kasus ledakan itu karena ketidaktahuan saja. Kalau seharusnya diisi CNG ya jangan elpiji,"sambar Danny.
Berikut simulasi penghitungan biaya BBG dan BBM dengan asumsi yang telah ditentukan.
Pemilik mobil Daihatsu Terios, dengan jarak tempuh sekitar 60 km perhari. Lalu dengan asumsi pemakaian bahan bakar 8 dan 10 liter/ LSP per kilometer. (mobil.otomotifnet.com)