TERGANTUNG INFLASI
Direncanakan, 11 dari 13 ruas jalan tol di bawah operator PT Jasa Marga akan mengalami kenaikan rata-rata 10 persen. Dua yang tidak naik yaitu ruas tol Cikampek dan tol Bandara. “Yang menaikkan tarif tol secara rutin ini pemerintah berdasarkan Undang Undang No. 38/2004 tentang jalan tol. Kenaikan setiap dua tahun ini akan dikembalikan kepada pengguna jalan tol berupa maintenance (overlay), perluasan, pembangunan jalan tol baru hingga membangun gardu tol,” ujar Okke Merlina, Corporate Secretary PT Jasa Marga.
Okke pun menjelasakan latar belakang dan mekanisme penghitungan kenaikan tarif tol. Memang sudah ada ketentuan yang dituangkan dalam Undang Undang dari Menteri Keuangan dan Pekerjaan Umum untuk mekanisme itu, yang salah satunya berdasarkan angka inflasi dari 1 Agustus 2009-1 Agustus 2011. Karena itu bisa terjadi tidak sama antara kenaikan tarif tol di Jakarta dan Semarang, misalnya karena inflasi di dua kota itu juga berbeda.
Juga ada hitungan penggenap dalam mekanisme penghitungan kenaikan tarif tol. Misalnya yang kenaikannya hanya Rp 200 atau di bawahnya ruas tersebut tidak mengalami kenaikan. Namun nominal kenaikan itu akan diakumulasikan untuk kenaikan pada 2 tahun berikutnya. “Juga sudah bisa disebutkan di sini bahwa ruas tol yang selama ini Rp 2.000 tidak akan mengalami kenaikan,” lanjut Okke.
Feet back atas kenaikan tarif tersebut, pihak PT Jasa Marga akan terus melanjutkan komitmen untuk menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Yakni dengan berusaha meningkatkan pelayanan kepada pengguna jalan tol yang itemnya sangat banyak. Bisa berupa perluasan ruas, memperbanyak rambu-rambu, memperbarui tanda marka jalan hingga memberi edukasi kepada masyarakat tentang berlalu lintas termasuk kepada anak usia dini.
Okke juga menjelaskan bahwa membangun dan perawatan jalan tol itu membutuhkan investasi yang besar. Karena memang jalan tol itu dibangun dengan standar kualitas tinggi dan untuk jangka panjang. Karena itu, perlu adanya penyesuaian (baca : kenaikan) berkala untuk bisa meningkatkan pelayanan kepada pengguna jalan tol. “Dulu juga kan pernah hingga 10 tahun tidak ada mekanisme kenaikan tarif tol. Dampaknya, pelayanan cenderung minimalis berbeda dengan sekarang,” terang Okke.
Ditanya soal kemacetan yang tetap terjadi di ruas tol dalam kota Jakarta meski tarif tol terus naik pada 2 tahun sekali, Okke menyatakan bahwa itu banyak penyebabnya. Salah satunya tidak sebandingnya antara rasio kendaraan yang beredar dan panjang jalan tol. “Jadi itu bukan tanggung jawab operator jalan tol. Melainkan menjadi domain pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum serta lembaga terkait lainnya sebagai regulator,” ungkap wanita berkerudung ini.
KURANG EDUKASI
Menanggapi itu, Izul Waro selaku peneliti Institut Studi Transportasi (Instroan) bahwa mekanisme penghitungan kenaikan tarif tol sudah diatur dalam Undang-Undang. Soal mekanismenya sendiri menurut Izul sudah bisa diterima mayoritas pengguna jalan tol, termasuk memperhitungkan faktor inflasi yang terjadi selama 2 tahun terakhir. “Namun jika soal detil, persentasi hingga pembulatan nominal , kalau dirasa kurang pas ya harus dengan cara mengubah Undang Undang pula,” ujar Izul.
Memang lanjut Izul, operator seperti PT Jasa Marga tidak bisa berdiri sendiri di sini. Masih ada instansi terkait yang berkaitan dengan memberikan layanan publik pengguna jalan tol yakni Pekerjaan Umum, Bina Marga hingga Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT). “Operator itu lebih banyak sebagai pelaksana, sedangkan regulasi oleh regulator atau pemerintah. Namun intinya, kenaikan tarif tol harus dibarengi memberikan pelayanan SPM,” lanjut pria 29 tahun ini.
Apakah SPM itu sudah dijalankan oleh operator? Izul hanya tersenyum. Karena memang itu sifatnya sangat relatif. Hanya saja mestinya pihak operator melakukan ekspose ke publik lebih edukatif dan gencar. Misalnya data kecelakaan yang terjadi di jalan tol. Tidak hanya mencantumkan jumlah yang meninggal misalnya pada kurun waktu tertentu. Melainkan bisa lebih detil dengan populasi atau frekwensi kendaraan yang melintas saat itu. Jadi datanya komplit dan mendidik.
Lalu soal kecepatan minimal di jalan tol apakah sudah terpenuhi. Misalnya tol dalam kota dengan minimal 10 km/jam dan tol panjang keluar kota sudah seperti yang disyaratkan apa belum. Namun yang terjadi di tol dalam kota sekarang ini memang sangat complicated karena rasio kendaraan yang beredar dengan panjang jalan tidak seimbang.
“Ada cara untuk mengurangi sekaligus mengatur jumlah kendaraan agar tidak overload. Yakni dengan membatasi kendaraan yang akan melintas ke ruas tol tersebut karena sudah kepenuhan. Ya seperti penumpang bus, kalau seatnya sudah penuh kan tidak boleh dipaksa. Demikian pula di jalan tol. Kalau alasannya operator tidak memiliki peralatan untuk menghitung jumlah kendaraan, sebenarnya tidak bisa diterima. Karena di luar negeri alat itu sudah banyak dipakai,” lanjut ayah satu anak ini.
Selain itu, masyarakat juga harus diedukasi soal jalan tol itu sendiri. Misalnya soal konsesi ruas tol itu seperti yang diatur keputusan Menteri Keuangan adalah 25 tahun. Lalu bagaimana dengan tol Jagorawi yang dioperasikan sejak 1978 yang berarti lebih dari 25 tahun? “Ini juga mesti diinfokan kepada publik. Apakah setelah lebih 25 tahun tol itu digratiskan, atau tarifnya diturunin, atau ada kebijakan lain. Intinya, dengan beban kenaikan tol yang setiap 2 tahun naik itu, pengguna kendaraan harus mendapatkan faktor keselamatan dan kenyamanan yang memadai,” ujar pria asal Kediri, Jawa Timur ini. (mobil.otomotifnet.com)