Simbol Negara Di Mobil, Hanya Arogansi dan Gagah-Gagahan!

billy - Senin, 1 Agustus 2011 | 14:03 WIB

(billy - )

 
JAKARTA - Sungguh membingungkan. Buat sebagian mobil yang memakai simbol-simbol kendaraan, ada yang lolos dari jeratan aparta, tetepai tak sedikit pula yang bebas menggunakannya. Hal ini menunjukkan, kalau pihak aparat sendiri sesungguhnya juga belum konsisten menyikapi pamakaian simbol-simbo itu. Lantas, bagaimana sesungguhnya aturan itu?

Keistimewaan Parkir
Supriatna Tatang,  pebisnis sepeda motor, pernah sampai minta lambang kesatuan elit Polri untuk dipasang pada kaca depan mobil KIA Carens-nya  biar kelihatan gagah. "Saya melihat stikernya boleh juga buat di mobil. Saya pikir biar keliatan keren aja. Salah satu keuntungannya kalau mau parkir juga dihormati, mungkin dikira mobil ‘anggota’ kali," ujar pria yang karib disapa Bebi ini.

Ayah 3 putra ini akhirnya memilih menyopot stiker itu dari mobilnya karena sebenarnya tidak ada gunanya juga. Ketika ada razia kendaraan, juga tetap diberhentikan. Cuma memang mantan dragracer ini merasakan terkadang polisi yang melakukan razia lebih agak sopan ketika melihat surat-surat kendaraan.  "Sekarang mobil saya sudah bersih dari simbol negara atau aparat tertentu. Karena saya mendengar itu memang dilarang," sebut pria warga keturunan Cina ini.

KRMT Roy Suryo, anggota Komisi 1 DPR RI yang  merupakan salah satu pengguna logo/stiker identitas khusus pun angkat bicara. Di mobilnya, memang dipasang  logo keanggotaan DPR/MPR RI serta keraton Yogyakarta. Tapi ia sendiri malah pernah mengalami kecelakaan, diserempet mobil yang menggunakan logo militer.

"Tepatnya di kawasan SCBD,  Toyota Camry saya diserempet mobil double cabin. Waktu saya keluar untuk cek keadaan, di pick up itu ada logo TNI AL dari logam. Dari telepon dan jawabannya mengesankan ia anak pejabat atau menteri," jelas Roy.

Roy kemudian mencatat nomor kendaraan dan mengecek datanya ke kepolisian. Hasilnya, mobil tersebut bukan milik personel militer. "Banyak yang memanfaatkan logo-logo itu untuk menakuti warga. Besoknya, mobilnya dilacak dan dipanggil, ternyata dia pakai logo itu untuk gagah-gagahan, beli di daerah Senen," terang kelahiran Yogyakarta, 43 tahun lalu ini.

Roy sendiri sebagai pengguna logo tersebut tidak merasa berhak mendapat perlakuan khusus. "Fasilitas yang saya terima hanya boleh parkir di basement kantor area DPR RI saja. Tanda bahwa sah parkir di situ, tidak ada keistimewaan lain.

Justru saya merasa tanggungjawab memasang simbol tersebut berat. Saya enggak bisa sembarangan, harus berlaku sebagaimana mestinya seorang anggota DPR. Sama dengan analogi mobil pakai logo dokter (tongkat dan ular), tapi ketika ada kecelakaan malah ngacir duluan," papar alumnus Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada ini.

Karena itu, ia sangat mendukung penertiban logo/stiker institusi seperti militer, kepolisian, DPR dan sebagainya oleh pihak yang tidak berhak. "Jika ada pihak-pihak yang memasang logo TNI-Polri-DPR diluar Haknya (hanya iseng-iseng pasang), ini yang harus ditindak keras, kalau perlu dikenakan Tilang/Pasal termasuk 'modifikasi' Plat Nomor yang bukan semestinya," paparnya.

Pengguna sah tetap berhak menggunakan logo-logo tersebut, tetapi itupun harus dibuktikan dengan pemilik kendaraan yang benar. "Sesuai nama, instansi dan - khusus untuk DPR-  harus logo resmi yg dikeluarkan oleh SetJen DPR, yang ada nomor keanggotaan," jelas pehobi fotografi dan otomotif ini.

Tak hanya nomor, Roy menyebut pemasangan logo DPR pun ada ketentuannya. Tidak boleh sembarangan di kanan, kiri nomor polisi, grill dan sebagainya. Tetapi di tengah - atas pelat nomor, karena sudah ada tempat/dudukannya.

Pengguna sah pun, bukan berarti bisa kebal hukum. "Tidak perlu diberikan hak khusus di jalan, kecuali memang ada Pengawalan Resmi (Polisi/PM) dan justru ada Kewajiban selaku pihak yg harus melayani Masyarakat," lanjut konsultan teknologi informasi Badan Narkotika Nasional ini.

Bagaimana dengan logo di luar instansi seperti Keraton, Keluarga Alumni, Perbakin, Ikatan Olah raga dan sebagainya? "Menurut saya masih sah-sah saja, soalnya itu adalah kebanggaan atau bahkan wujud apresiasi mereka, tidak perlu berlebihan dilarang. Tetapi mereka yang pasang-pasang logo di luar Instansi ini sama sekali tidak memiliki Hak khusus apapun, anggap saja semacam 'stiker' Merk," kata Roy.

Bukan Pemilik
Pendapat lain disampaikan Azas Tigor Nainggolan, pengamat kepolisian dan lalu lintas. Sebaiknya ditertibkan saja pemasangan logo atau simbol yang ‘aneh-aneh' itu karena ternyata lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. "Itu kan hanya untuk gagah-gagahan. Malah terkadang pemilik mobilnya bukan dari kesatuan logo yang dipasang. Ini kan enggak benar," ujar Tigor.

Maka itu ia meminta pihak kepolisian untuk lebih tegas menertibkan logo atau simbol tersebut. Karena juga dilarang dalam Undang-Undang No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. "Intinya, sama dengan pemberlakuan pelarangan pelat nomor yang tidak sesuai dengan yang dari polisi. Yang dibentuk-bentuk sehingga menjadi nama, atau dibuat dari bahan lain yang dari kepolisian," lanjutnya.

Sementara itu, Komisaris Polisi Adhie Santika, Sik, Kepala Seksi Penindakaan Pelanggaran (Dakgar) Subdit Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya menyatakan bahwa telah ditilang sebanyak 5 mobil selama 11-24 Juli 2011 Operasi Patuh Jaya. "Ada lima mobil yang distop petugas karena terbukti menyematkan lambang Tribhrata (Kepolisian) dan memasang lambing Garuda di pelat nomornya," ujar Adhie.

Dijelaskan Adhie, ternyata yang menggunakan lambing Tribhatra bukan anggota polisi, melainkan keluarganya. Petugas terpaksa menjeratnya dengan sanksi tilang karena melanggar spesifikasi pelat nomor kendaraan yang asli.

"Simbol Tribhrata (kepolisian) itu menutupi huruf di pelat nomor. Selain itu, angka dan hurufnya juga dimodifikasi. Pasal yang disangkakan Pasal 280 jo Pasal 68 ayat 1 UU No. 22 Tahun 2009, Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan denda Rp 500 ribu," terang Adhie.

Mengenai simbol atau logo seperti Tribhrata, Garuda, DPR, Keraton hingga aparat yang lain, sebenarnya tidak ada pelarangan. Selama, lanjut Adhie, tidak menutup pelat nomor kendaraan yang ada.

"Meski begitu, kami menghimbau untuk tidak perlu memasang simbol-simbol tersebut. Karena itu dilihat sebagai arogansi saja. Soal minimnya jumlah kendaraan yang ditilang, karena memang hanya itu yang terjaring saat operasi," sambung pria ramah ini.

Mestinya tidak pandang bulu yang ditilang.    (mobil.otomotifnet.com)