"Kalau soal tarif yang dikontrol pemerintah memang ikut berperan. Namun masalah perizinan trayek yang sangat mudah dikeluarkan baik dari Dinas Perhubungan maupun Dirjen Darat itu masalah krusial bagi kami. Soalnya, ketika kami mengajukan trayek dan kemudian ramai, berarti kan mempermudah keuntungannya dipakai buat peremajaan bus," kata Eris.
Namun mantan pegokart nasional yang kini menggeluti sepeda down hill itu izin trayek begitu mudah dikeluarkan, itu persoalan tersendiri bagi Eris. Misalnya sebuah trayek diisi 10 bus bisa menghasilkan keuntungan memadai. Setelah ditambah 5 unit lagi dari perusahaan bus yang lain, yang terjadi kemudian persaingan yang tidak sehat.
"Memang mungkin tujuannya tidak ada monopoli. Tapi ini berbeda dengan jualan baju misalnya. Perusahaan bus merupakan perusahaan jasa. Yang terjadi kemudian ‘perang di jalanan'. Saling tutup, main sodok-sodokan rebutan ngetem terjadi dan susah dihindari. Karena dengan dikeluarkannya izin trayek yang mudah sementara di sisi lain penumpangnya nggak nambah, penumpang akhirnya hanya sedikit. Mana ada keuntungan ekonomis yang pada akhirnya kami tidak bisa melakukan peremajaan bus," kata putra bungsu almarhum H. Mahfud, pendiri Mayasari Bakti ini.
Pada akhirnya pengusaha bus memilih menjalankan busnya terus menerus. Tujuannya untuk mendapatkan nilai ekonomis. Bagaimana bus tidak hancur karena dijalanin terus, kurang biaya perawatan yang pada akhirnya keselamatan penumpang menjadi terabaikan.
"Dengan setoran menjadi 5 juta dari 10 juta sebelumnya, tentu hal yang sangat merugikan perusahaan. Inginnya, pemerintah tidak dengan mudah mengeluarkan izin trayek. Harus juga mempertimbangkan jumlah bus yang ada," tutur Eris yang tetap bangga karena telah berhasil mempelopori peremajaan bus meski jumlahnya masih sedikit. (mobil.otomotifnet.com)