OTOMOTIFNET - Hal paling reasonable saat ini adalah memaksimalkan busway. MRT atau monorail butuh waktu paling tidak 8 tahun, jalur terbatas dan dananya triliunan. Soal kapasitas, bisa diatasi dengan bus gandeng yang bisa meningkatkan kapasitas sampai 2 kali lipat.
Tambahi pula jumlah busnya, koridor dan jaringannya. Supaya orang dengan busway cukup sekali bayar. Dari rumah ada feeder, terus langsung ke halte.
Dengan koridor yang ada sekarang, plus koridor IX (Pinangranti-Pluit) dan koridor X (Tanjung Priok), kalau sudah beroperasi, diprediksi bisa lebih membantu. Karena Jakarta Timur, bisa di-cover koridor IX dan Jakarta Utara oleh koridor X. Saya kira rencana pembangunan 15 koridor itu harus tetap ada.
Keberadaan busway di beberapa jalur umum malah menambah kemacetan, karena terlalu banyak kendaraan bermotor. Kalau jalurnya steril dan lancar, orang mau pindah dan akan lebih menikmati busway, murah dan cepat.
Selama ini antre lama karena enggak steril. Yang ditawarkan busway kecepatan dan ketepatan, kenyamanan jelas lebih nyaman pakai bus executive. Keamanan juga.
Jadi kuncinya, menambah jumlah, jaringan, dan kualitas layanan tanpa menaikkan tarif. Kalau tarifnya lebih mahal dari mobil pribadi, orang enggak mau naik busway lagi. Mau busway yang nyaman? Gampang, bikin aja busway executive, tarifnya Rp 10 ribu/orang. Semua yang naik dapat tempat duduk. Kalau tempat duduk sudah terisi semua, berangkat.
Mengenai monorail dan MRT, itu sebagai suatu pilihan, tapi belum tentu yang terbaik. Tak ada MRT di dunia yang tidak disubsidi pemerintah. Belum lagi kondisi geografis Jakarta yang banjir, makin lama makin ambles, belum lagi listriknya masih byar pet.
Selain angkutan massa, ada satu langkah yang sebenarnya saat ini bisa dilakukan dengan cepat. Gak membutuhkan peraturan khusus dan dana besar, mewajibkan pekerja Jakarta memakai kendaraan umum, dimulai dari lembaga pemerintah.
Suruh aja tiap hari Senin karyawan departemen pendidikan naik angkutan umum, Selasa departemen dan dinas perhubungan, Rabu untuk departemen dan dinas PU. Diikuti karyawan swasta dan BUMN. Itu akan mengurangi jumlah kendaraan secara signifikan tanpa biaya besar atau peraturan lain.
Tapi kebijakan seperti ini hanya bisa diatur oleh presiden. Karena yang diatur tak hanya Jakarta, tapi juga Jabodetabek. Soal kemacetan di sini kebijakan mesti dilakukan oleh Pemerintah Jakarta dan Pusat. Termasuk pengadaan sarana transportasi dan kebijakannya, semestinya bersinergi.
Bukan hanya angkutan umum, gedung-gedung baru yang bermunculan di Jakarta juga memberikan sumbangan besar pada kemacetan. Stop pembangunan gedung baru, itu dibangun dengan lahan parkir.
Itu sama saja menyediakan peluang penggunaan kendaraan pribadi. Mana ada gedung baru dibangun dengan angkutan umum. Jadi omong kosong itu mengatasi kemacetan kalau enggak menghentikan pembangunan gedung baru.
Penulis/Foto: Nawita, Anton, eRIE, Pj / Nawita