Otomotifnet.com - Transmisi CVT (Continuosly Variable Transmission) jadi salah satu jenis transmisi otomatis yang digunakan beberapa mobil di Indonesia.
Contohnya adalah Toyota Yaris, Honda Jazz, Honda HR-V, Toyota C-HR, Nissan Grand Livina, dan Nissan Juke.
Transmisi CVT menggunakan sepasang puli (drive pulley dan driven pulley) yang dihubungkan oleh sebuah belt atau sabuk baja.
Kedua puli yang terhubung sabuk baja ini bisa membesar dan mengecil (bergerak ke kiri atau ke kanan) berdasar perintah komputer sesuai dengan putaran mesin dan laju mobil.
(BACA JUGA: Avanza, Xenia, Mobilio Dan Ertiga Transmisi Manual Masih Banyak Peminatnya )
Perubahan kedua puli ini membuat diameter sabuk ikut berubah.
Diameter inilah yang menjadi rasio gigi pada transmisi CVT.
"Diameter sabuk tersebut yang menjadi rasio gigi di transmisi CVT sehingga rasio gigi sangat luas dibandingkan dengan transmisi konvensional yang rasio giginya memiliki tingkatan," buka Hermas Efendi Prabowo, pemilik bengkel Worner Matic, Bintaro, Tangerang Selatan (4/12).
Karena rasio giginya luas, perpindahan giginya bergerak secara continuous sehingga tidak ada jeda dan entakan di setiap perpindahan gigi.
(BACA JUGA: Dokter Spesialis Cari Susah, Akhirnya Dapat Honda CRZ Transmisi Manual)
"Transmisi CVT lebih nyaman digunakan karena halus dan tidak ada gejala hentakan setiap perpindahan gigi," ungkap mantan wartawan Kompas ini.
Selain itu, Rasio gigi yang luas ini juga membuat transmisi CVT bisa menekan konsumsi bahan bakar mobil.
"Rasio gigi yang luas membuat mobil bisa melaju di kecepatan tinggi namun putaran mesin tetap terjaga rendah, konsumsi BBM jadi lebih irit," jelas Hermas.
Namun, perpindahan gigi transmisi CVT yang menggunakan belt ini sekaligus menjadi kekurangannya.
(BACA JUGA: Harus Tahu, Beda Kuras dan Ganti Oli Transmisi Otomatis, Efeknya ke Performa)
Transmisi CVT tidak bisa dipasangkan di mobil dengan torsi yang besar.
"Karena belt tidak bisa menahan torsi berlebih yang dihasilkan mesin, makanya CVT lebih banyak disematkan di mobil-mobil dengan tenaga menengah ke bawah," terang pria ramah ini.
Selain itu, masih menurut Hermas, teknologi canggih dan komputerisasi yang dipakai membuat usia pakai transmisi CVT cenderung lebih pendek dibanding transmisi konvensional yang mengandalkan planetary gear set dan torque converter (kopling fluida).
Celakanya lagi, jika terjadi kerusakan transmisi CVT, ketersediaan suku cadang atau komponen pengganti di Indonesia tergolong sulit dicari.
Biaya perbaikan atau penggantian transmisi CVT pun bisa dikatakan cukup mahal.
"Untuk beberapa model CVT, kalau rusak harus ganti sepaket yang baru biayanya Rp 45-60 juta," tutup Hermas.