Setelah itu naik ke Probation atau percobaan, yang mana pengendara bisa membawa kendaraan tanpa pendamping.
“Namun tidak boleh melebihi kecepatan maksimum yang ditentukan. Kemudian naik lagi Vocation dan License baru mendapat SIM resmi," lanjutnya.
Nah evaluasi pemegang SIM dilakukan dengan sistem poin.
"Jika melanggar aturan ataupun terlibat kecelakaan lalulintas otomatis poinnya berkurang,”
“Alhasil pengendara yang tadinya level Vocation bisa turun lagi ke Learner, dan harus mengulangi tahap mendapatkan SIM dari awal," urai Jaya, sapaan akrabnya.
Lebih lanjut Ia menggarisbawahi, pentingnya kompetensi keterampilan mengemudi juga berkaitan dengan masalah budaya dan mindset (pola pikir).
“Orang yang jago banyak, tapi etika berkendara tidak dipakai. Kita usulkan, kalau bisa itu (etika berkendara) bisa masuk dalam materi pengujian,” imbuhnya.
Ia pun mencotohkan, perolehan SIM di Jepang dipatok harganya Rp 40 juta.
“Prosesnya 2 tahun juga, enggak gampang. Sementara di Indonesia, dekat sama itunya (Satpas SIM) 2 jam jadi. Saya memberikan masukan, silahkan mau diserap atau tidak,” sambung Wijaya.
Dirinya juga mengungkapkan, di luar negeri klasifikasi SIM motor berdasarkan output mesin (horse power), bukan kubikasi mesin (CC).
Bandingkan dengan perolehan SIM di Indonesia, yang hanya diperlukan waktu satu hari.
Diawali dengan mengikuti ujian tertulis, tes kesehatan, psikotes dan ujian praktek. Jika semua tes dinyatakan lulus, dilanjut proses foto SIM dan tunggu beberapa menit SIM pun jadi.