Otomotifnet.com - Sebuah laporan mengenai kondisi terkini pasar mobil listrik di Indonesia dirilis perusahaan manajemen konsultansi global, Arthur D. Little (ADL) .
Dalam studinya, ADL telah mengidentifikasi lima tantangan mendasar terhadap peralihan Indonesia menuju mobilitas listrik. Mulai ketergantungan produksi hingga persoalan baterai sebagai berikut:
1. Ketergantungan yang kuat pada produksi Original Equipment Manufacturer (OEM) otomotif yang terbatas
2. Terbatasnya pengembangan infrastruktur pengisian daya
3. Pemrosesan nikel yang kurang berkembang
4. Baterai Lithium Ferro Phosphate sebagai ancaman bagi keberadaan Nickel Manganese Cobalt
5. Keseimbangan antara keterkaitan regional dan prioritas nasional
Informasi ini muncul dalam acara peluncuran laporan ADL bertajuk “Unleashing Indonesia’s Electric Mobility Potential” di Jakarta (1/8/2023).
Berdasarkan publikasi ADL terbaru ‘Global Electromobility Readiness Index (GEMRIX) edisi 2022 – 2023’, Indonesia termasuk dalam pasar EV yang sedang berkembang.
Mendapat skor 43 dari 100 untuk kesiapan Battery Electric Vehicle (BEV). Hal ini sejalan dengan negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Thailand.
“Dengan peralihan ke kendaraan listrik, Indonesia berharap dapat mengurangi ketergantungan pada impor minyak, serta akan berkontribusi pada ketahanan energi dan membantu membatasi pengeluaran devisa"
"Hal ini adalah salah satu prioritas utama pemerintah, mengingat ketergantungannya pada impor minyak dan fluktuasi nilai tukar USD,” ujar Andreas Schlosser, Partner dan Global Head of Arthur D. Little’s Automotive Practice dalam siaran persnya.
Pemerintah Indonesia telah berupaya mengembangkan rantai pasokan kendaraan listrik end-to-end sejak 2013.
Sampai 2030, Kementerian Perindustrian telah menetapkan target produksi sebanyak 600,000 kendaraan listrik roda empat dan 2,45 juta kendaraan listrik roda dua.
Target ambisius ini juga merupakan hasil dari Indonesia Battery Corporation (IBC) yang berencana membangun pabrik baterai dengan kapasitas awal sebesar 10-15 GWh, yang diharapkan dapat digenjot hingga 20 GWh.
Berdasarkan hasil analisis ADL, Indonesia membutuhkan produksi minimal 340.000 kendaraan listrik (56% dari target semula 600.000) untuk memenuhi kapasitas 15 GWh dari permintaan domestik.
Untuk mendukung target tersebut, pemerintah Indonesia telah menawarkan berbagai insentif, seperti pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), insentif bea masuk atas importasi Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) berbasis baterai, insentif pajak terkait Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), keringanan biaya pengisian listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).
Namun, terlepas dari pendekatan komprehensif dan berbagai langkah yang ditawarkan oleh pemerintah melalui dorongan regulasi, tingkat adopsi EV di Tanah Air masih rendah karena berbagai tantangan.
Akshay Prasad, Manager Arthur D. Little di Asia Tenggara, mengungkapkan bahwa kesuksesan prospek kendaraan listrik Indonesia terletak pada daya tarik OEM baru. Yakni dari India, Tiongkok, serta pemain lokal yang lebih fokus pada “mengembangkan kendaraan listrik” daripada hanya mengandalkan merek dominan saat ini yang sebagian besar berfokus pada ICE (Internal Combustion Engine).
“Strategi ini memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mempertimbangkan pengembangan OEM lokal yang selama ini masih kurang"
"Dengan mempromosikan produksi mobil listrik lokal secara strategis melalui insentif yang ditargetkan, seperti pembebasan bea masuk untuk komponen tertentu dan penetapan batas minimum yang lebih tinggi untuk investasi, dapat mendorong masuknya pemain utama dan menandakan pasar yang lebih berkembang,” terang Prasad.