“Personel yang dibutuhkan untuk tilang uji emisi memang banyak sekali, ada bagian penguji, pengawas dan pendata, prosesnya juga memakan waktu,” ucapnya (11/9/2023).
Ia menambahkan, berkaca dari proses pelaksanaan tilang uji emisi perdana, waktu yang dibutuhkan sangat lama dan kurang kondusif.
“Terlalu lama, kemampuan saya dan teman-teman DLH saja harus memakan waktu lebih dari 3 jam untuk menangani 200 pengendara. Masyarakat juga berebut kemarin,” ujarnya.
2. Keterbatasan jumlah alat
Kendala selanjutnya adalah keterbatasan jumlah alat yang digunakan untuk menguji emisi kendaraan.
Hal ini juga merupakan lanjutan dari kendala pertama.
Heri menjelaskan, satu lokasi tilang hanya diberikan tiga alat saja, yakni untuk mobil bensin, mobil diesel, dan motor.
Jumlah itu dinilai sangat tidak mencukupi.
“Hanya ada 3 alat yang digunakan, jadi logikanya cuma 1 kali pengujian per-kendaraan. Inilah yang memakan waktu,” ucapnya.
3. Software dan instrumen pendataan belum memadai
Kendala terakhir berkaitan dengan software dan bagian pendataan, yang proses kompilasinya belum memadai dan masih sering terkendala.
Heri mengungkap, kendala ini adalah yang paling memusingkan, khususnya pada saat pelaksanaan tilang uji emisi hari pertama.
Sebab ada beberapa pengendara yang mengaku sudah melakukan uji emisi, namun datanya tidak terekap.
“Ada data yang belum terinput, kemudian sistemnya hang (error). Ada pengendara yang sudah diuji emisi, tapi datanya nyangkut. Kendala-kendala macam ini kan terkesan tidak profesional,” ucapnya.
Walaupun tilang uji emisi kini dihentikan, Heri berharap semua pengendara tetap berupaya menjaga kualitas lingkungan hidup, dengan cara mengurangi emisi dan menjaga kualitas pembakaran kendaraan.
Baca Juga: Kebijakan Plinplan, Tilang Uji Emisi Dihapus Begitu Saja Dalam Hitungan Hari