“Nahh, umumnya pada saat terjadi loss power itu, pengemudi cenderung menginjak pedal gas lebih dalam agar mobil mendapatkan tenaga. Padahal pada saat itu sistem transmisi atau ECU membaca torsi sudah maksimal. Akibatnya, justru yang ada transmisi akan tetap bertahan di posisi gigi tinggi. Kondisi ini malah berbahaya karena tetap tejadi kehilangan loss power,” tambahnya.
Ia kemudian kasih contoh ketika melalui jalur Puncak (Bogor) yang kemiringannya sekitar 10 derajat atau bahkan 20 derajat.
“Kalau kita menggunakan mobil manual, rata-rata bermain di gigi 1 dan 2, serta dikombinasi rem kaki dan tangan (saat lagi macet, red). Nah, berbeda saat menggunakan transmisi matik, kita cukup dimudahkan saat pengoperasiannya, yaitu hanya menggunakan D1 atau L dan rem, pada putaran mesin di 1.500-2.000 rpm, yang sangat aman untuk mesin,” jelas Agung lagi.
Oiya, tektnik ini berlaku untuk transmisi matik konvensional, CVT maupun AMT (Automated Manual Transmission).
Termasuk pada sistem transmisi mobil eleltrik. Namun khusus AMT, sebaiknya saat melakukan stop and go di tanjakan, rem tangan wajib sering-sering dimainkan.
Sebab meski transmisi sudah masuk gigi rendah, ketika kaki berpindah dari pedal rem ke gas bakal ada jeda sekian detik yang membuat kondisi transmisi seperti kosong atau netral sesaat. Tentunya ini berisiko membuat mobil bisa meluncur mundur.
Balik lagi, secara prinsip pengoperasian semua jenis matik tadi sama saat menemui jalanan tanjakan.
Yang membedakan adalah hanya soal tingkat percepatan yang dimiliki tiap-tiap mobil. Ada yang hanya 4-percepatan, 6-percepatan, 7-percepatan, bahkan lebih.
Intinya, berapa pun jumlah percepatan yang dimiliki, saat berada di tanjakan tetap disarankan pindahkan posisi giginya ke rasio gigi rendah.