Tepat 25 tahun sejak perseteruan Alain Prost dan Ayrton Senna, pemerhati balap jet darat
kembali diingatkan kasus yang kontroversial tersebut.
Adrenalin mereka semakin tinggi untuk membuktikan siapa yang bisa mempersembahkan gelar pertama kali buat timnya. Kondisi pun memanas meski tim menyebut konflik yang terjadi masih dalam batas normal. Akankah ini kelanjutan dari perseteruan rekan setim yang dialami Senna dan Prost pada 1989?
Memanasnya hubungan ini bisa berujung fatal jika kedua pembalap lepas kontrol dan menjurus pada persaingan keras. Maklum, tim Mercedes dan pembalapnya difavoritkan menjadi juara dunia. Untuk itu, menjelang GP Bahrain, April lalu, keduanya dipanggil ke hadapan Niki Lauda, direktur eksekutif Totto Wolff dan direktur teknik Paddy Lowe. Intinya, Wolff ingin kedua pembalap bersikap adil. Jadi, meski sedang berada di depan, jika tiba-tiba ada masalah, mereka tahu harus berbuat apa.
Toto Wolff sudah punya solusi untuk meredakan konflik
Perseteruan keduanya mencuat sejak GP Malaysia 2013. Rosberg yang merasa lebih kencang dan berada dekat di belakang Hamilton, meminta izin pada tim untuk menyalip, namun tidak dibolehkan. Hamilton pun finish ketiga, podium pertamanya untuk tim Mercedes.
Bagi Rosberg mungkin ini sebuah sandungan. Ia membela tim Silver Arrow sejak 2010 dan mendapat saingan sejak Hamilton bergabung tahun lalu. Tak heran, hampir di setiap event musim ini, selalu saja ada kabar ketidakharmonisan hubungan mereka. Keduanya mengklaim sebagai yang terkencang dan perseteruannya kini kian transparan. "Intensitas hubungan mereka masih normal. Mereka berdua tengah bekompetisi meraih gelar juara dunia. Filosofi balap Mercedes adalah memungkinkan pembalap kami bersaing. Biarkan mereka bermain dengan mainannya, kecuali mereka melanggarnya," tukas Wolff.
Jelas, situasi ini sangat menegangkan saat lomba. "Tetapi mereka tahu kita tidak akan mentolerir kejadian apapun. Ini adalah kerja, bukan liburan, pembalap harus bekerja dengan dan terutama untuk tim," imbuhnya.
Nah, bicara tentang bekerja untuk tim, ini mengingatkan kita kembali pada praktik team order yang sudah jadi bagian di arena motorsport atau di F1. Seperti era ‘80 dan ‘90-an saat manajemen tim masih terbuka, mereka dapat mengatur pembalapnya. Bahkan ada istilah pembalap pertama dan kedua.
Ini dialami pasangan Ayrton Senna dan Gerhard Berger di McLaren (1990-1992) atau Nigel Mansell dengan Riccardo Patrese di tim Williams (1991-1992). Berger dan Patrese setia menjalankan perannya sebagai second driver. Paling santer loyalitas Rubens Barrichello yang membantu Michael Schumacher dan tim Ferrari meraih gelar juara dunia di musim 2000-2004.
Namun usai musim 2002 FIA melarang team order yang mempengaruhi hasil lomba meski kemudian pada 2011 larangan itu dicabut. Imbasnya, manajemen tim jadi tertutup. Tim tetap mempraktikkan team order namun dengan cara halus. Seperti kode ucapan menyuruh pembalapnya jangan terlalu kencang, mempercepat atau memperlambat pitstop.
Duel rekan satu tim, bagus buat penonton
Bahkan Fernando Alonso yang baru bergabung di tim McLaren pada 2007 sebagai rekan setim Hamilton, memutuskan keluar di akhir musim akibat hubungannya dengan tim dan Hamilton tidak harmonis.
Kembali ke masa lalu, dulu ada pembalap senior dan pembalap muda. Pembalap senior diperlukan bukan untuk mengejar kemenangan, tetapi memberi masukan pada tim dalam riset dan pengembangan mobil. Contohnya, kembalinya Michael Schumacher ke jet darat di 2010 setelah pensiun pada 2007.
Saat ini boleh dibilang hampir semua pembalap F1 memiliki bakat sama. Semua berpeluang menang. Termasuk duet Hamilton dan Rosberg yang kini berada di atas angin. Konflik internal itu bisa berlangsung hingga akhir musim, mirip kisah Senna dan Prost.
Pengamat dan mantan pembalap F1 menyebut keduanya bisa saling membunuh. Jack Villeneuve, juara F1 1997 bilang Hamilton sebagai ‘big killer’. Sementara Daivd Coulthard sebaliknya, ia menilai Rosberg lebih bisa bertindak keras.
Begitulah, repotnya memiliki dua pembalap berbakat dalam satu tim. (otosport.co.id)
Editor | : |
KOMENTAR