Rencananya akan menetap di dalam tenda alias nge-cam di pantai ini. Tetapi karena rombongan tiba di lokasi pagi dinihari dan beberapa jam lagi harus berangkat untuk bertandang ke beberapa destinasi, hanya sedikit yang memanfaatkan fasilitas nge-cam di pinggir pantai yang pasirnya putih ini.
Pukul 08.30 WITA rombongan kembali melanjutkan petualangan diawali dengan pengambilan gambar ketujuh Daihatsu Terios TX di tepi pantai. Sejauh ini SUV 7-seater yang digunakan itu tampak masih segar bugar alias tanpa ada kendala meski sudah menempuh jarak ribuan kilometer menelusuri 5 provinsi di Sulawesi.
Destinasi pertama tim mendatangi Desa Tana Beru, Kec. Bonto Bahari, Kab. Bulukumba, tempat asal dibuatnya kapal layar tradisional Phinisi. Kami bertemu dengan Pak Syarifuddin yang sudah puluhan tahun membuat kapal yang terkenal hingga ke mancanegara ini.
"Bahan dasar pembuatan kapal ini kayu besi/kayu ulin, dulunya dari kayu bitti. Tetapi karena keterbatasan persediaan kayu bitti yang berukuran panjang, maka digunakan kayu besi yang kami ambil dari Buton, Kendari," cerita Syarifuddin. Kayu jenis itu digunakan untuk lambung kapal, karena dibutuhkan kayu yang kuat.
"Proses pembuatan satu perahu memerlukan waktu 4-6 bulan. Harganya kalau lengkap dengan mesin mencapai Rp 3,3 miliar. Bahkan ada yang hingga Rp 10 miliar. Tergantung ukuran dan bobot kapal sesuai pesanan," kata pria asal Lemo Lemo, Sulsel ini. Ukuran seberapa dan akan jadinya seperti apa, hanya para pembuatnya yang tahu karena tidak ada blue print-nya. Wuih, hebat.
Dalam pembuatan kapal phinisi tidak menggunakan alat-alat modern. "Hanya alat-alat biasa seperti kapak, palu, bor, gergaji, cangkul kecil dan lem epoxy," urai Syarifuddin.
Belum puas mengagumi pembuatan kapal phinisi, tim pamitan dan segera bergegas menuju kawasan adat Amma Toa, Desa Tana Toa, Kec. Kajang di mana Suku Kajang berada. Masih berada di Kab. Bulukumba.
Sampai di tujuan, rombongan memarkir kendaraan sebelum masuk ke kawasan adat Amma Toa. Oh ya, hampir lupa. Untuk memasuki tempat ini, pengunjung harus memakai pakaian berwarba setbahitam. Semula kami disambut di rumah Kepala Desa Tanah Towa, dipersilakan untuk mengenakan sarung dan kemeja hitam. Sama seperti Suku Baduy di Banten, Suku Kajang juga mengenakan pakaian sehari-hari berwarna gelap.
Memasuki kawasan adat, kondisi di sini masih rimbun dengan pohon, jalanan berupa jalan setapak berbatu dan tanah. Masyarakat Kajang juga tidak menggunakan alat-alat modern seperti alat elektronik dan sebagainya, yang sudah dewasa tidak mengenakan sandal atau alas kaki.
Usai berbincang-bincang, rombongan disuguhkan atraksi bakar linggis. Tradisi ini digunakan ketika ada barang hilang tetapi tidak ada yang mengaku, maka utuk siapa pencurinya warga dikumpulkan dan disuruh memegang linggis yang sudah membara.
Orang yang tidak mencuri, saat memegang linggis membara itu tangannya tidak apa-apa, tetapi si pelaku akan kena luka bakar. Tetapi tradisi ini tidak boleh sembarang dipraktikkan atau untuk pamer. Makanya saat ritual ini dilakukan, harus disaksikan polisi atau tentara.
Kelar mengeksplorasi kehidupan masyarakat Suku Kajang dengan melihat alam sekitar, kehidupan sehari-hari dan rumah- rumah adat di sini, rombongan pamitan dan beranjak untuk mengejar waktu keberangkatan kapal feri di Pelabuhan Bajoe, Bone.
Tim Terios 7 Wonders benar-benar merasakan hal yang luar biasa selama melintas 5 provinsi di Sulawesi. Meski kondisi jalan yang dilalui memiliki tantangan berbeda, naik-turun bukit, jalan tidak rata dan berdebu dengan jarak pandang hanya 15 meter, Daihatsu Terios TX tidak menunjukkan stamina yang menurun.
Hingga akhirnya tiba di Pelabuhan Bajoe pukul 19.30, kemudian menunggu kapal feri yang akan membawa rombongan menyeberang ke Kolaka, Sulawesi Tenggara. (mobil.otomotifnet.com)
Editor | : |
KOMENTAR