OTOMOTIFNET - Menjelang final FFA matik 350 cc Day Battle KYT Dragbike 201 M Championship 2010 di Kemayoran, Jakpus medio April lalu, MC mengumumkan agar peserta yang kapasitasnya lebih besar dari 350 cc agar mengundurkan diri sebelum panitia menjatuhkan sanksi diskualifikasi saat scrut. Disebutkan pula, agar kejadian diskualifikasi yang menimpa sebuah tim besar asal Jakarta dalam drag kelas skutik di Yogyakarta, Maret lalu, tidak terulang.
KIAN LUNTUR
Diskualifikasi, apalagi menyangkut tim dengan nama besar agaknya menjadi temuan langka. Maklum, dunia drag bike, seperti beberapa cabang sport lainnya masih mengenal asas kepercayaan terhadap sesama peserta. Namun dengan temuan tersebut, sebetulnya menjadi momen untuk tidak menyandarkan asas fairness kepada budaya percaya begitu saja.
Apalagi, seperti diungkap Arif Sigit Wibowo, bos tim Pells Iblis Kedip Kawahara, untuk kelas FFA sampai 350 scrut bisa ditiadakan jika kelima tim pemenang sepakat tak ada pemeriksaan akhir. “Budaya balap harus scrut. Kecuali kalau lima peserta pemenang tanda tangan sepakat, enggak perlu pakai scrut. Biasanya justru petugas yang menanyakan ke para pemenang, mau ada scrut atau enggak”.
Pele, demikian Arif akrab disapa, juga menyorot scrut usai lomba sebagai hal yang penting. “Apalagi kelas matik FFA 350, modifikasinya ekstrem. Karena biar beda (kapasitasnya, red) cuma sedikit, terbukti kenceng,” ulasnya.
Pendapat sebaliknya dituturkan Bayu Putra, mekanik tim Dumasari. Menurutnya, kalau untuk kelas FFA 350 cc semestinya enggak perlu discrut lagi. “Kecuali yang 155-200 cc. Soalnya kalau yang 350 kecil kemungkinan lewat dari 350 cc,” ungkap Bayu.
Motor lokal, lanjut Bayu, susah untuk dibikin sampai 350 cc, apalagi kalau kapasitasnya lebih gede dari itu. Jadi, selain enggak perlu discrut, peserta yang kapasitasnya lebih dari 350 cc enggak perlu kena diskualifikasi. “Toleransi saat ini udah pas, wajarnya memang 0,5 (350,5 cc, red). Tapi kalau pun lebih sampai 355 cc, pengaruhnya segimana sih, enggak banyak juga,” tukasnya.
Toh, terlepas dari setuju atau enggak, scrut sejatinya merupakan peranti untuk menjaga sportivitas lomba. Dengan pemeriksaan, semua pihak merasa lega jika mendapati hasil yang dianggap fair. Namun siapkah para peserta menjadikan scrut akhir sebagai standar lomba? Firnaus Sulistyo, owner tim Super Sotoy angkat bicara. “Mending scrut aja kali ya biar lebih fair. Jadi walaupun kalah kita puas,” ujarnya.
Dengan banyaknya peserta dan event, kepercayaan memang satu hal yang semakin diuji keberadaannya. Apalagi jika diskualifikasi dikenakan kepada tim atau peserta dengan kredibilitas tinggi. Dengan kenyataan ini, Naus, demikian Firnaus akrab disapa, mulai meragukan unsur kepercayaan. “Kayaknya enggak bakalan ada kepercayaan lagi, jadi mending discrut akhir,” sarannya.
Adanya faktor kepercayaan kepada lima pemenang atau meminta peserta di posisi ke-6 untuk menyetujui hasil lomba dan meniadakan scrut memang ada di event-event berbasis komunitas seperti drag skutik. “Kalau eventnya bersifat komunitas yang industrinya belum berkembang, toleransinya terhadap aturan tinggi. Karena bersifat brotherhood jadi terserah komitmen mereka,” komen Dyan Dilato, biro olahraga roda 2 PP IMI.
Untuk event yang sudah maju, aturan semacam scrut akhir mestinya sudah ada di buku regulasi. Jadi ada kesepakatan di awal kalau usai balap nanti peserta yang menang akan diperiksa panitia. “Tetapi karena ini event komunitas, kalau selama ini dengan voting atau kesepakatan saja sudah selesai ya enggak masalah,” lanjutnya.
Penulis/Foto: Iday / Salim
Editor | : | Editor |
KOMENTAR