SPBG
Salah satu indikasi ketidaksiapan pemerintah pengubahan wilayah Jawa dan Bali yang akan dijadikan pemberlakuan pembatasan BBM non-subsidi hanya untuk Jabotabek. Ini disadari karena belum siapnya infrastruktur, baik SPBU yang menyediakan Pertamax. Apalagi stasiun untuk BBG.
Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Herawati Legowo menyatakan baru akan membangun 108 tempat pengisian gas cair untuk kendaraan (LGV) sepanjang tahun ini. Sebagian besar proyek akan dikerjakan PT Pertamina, BUMN yang telah berpengalaman mengelola minyak dan gas.
Jakarta misalnya, pemerintah akan menambah layanan Vi-Gas di 16 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Vi-Gas merupakan merek dagang Pertamina untuk LGV (liquid gas for vehicle). “Saat ini baru 10 SPBU yang melayani Vi-Gas,” katanya.
Kemudian, penambahan layanan Vi-Gas pada 15 SPBU di Jawa Barat, Banten (11 stasiun), Jawa Tengah (25 stasiun), Yogyakarta (4 stasiun), Jawa Timur (32 stasiun), dan Bali (2 stasiun). Semua akan dikerjakan pada tahun ini.
Melihat angka itu, sungguh masih sangat jauh dari rasio kecukupan. Kalau konversi jadi diberlakukan per 1 April 2012, sama saja pemilik kendaraan pribadi ‘dipaksa’ berpindah dari Premium ke Pertamax. Konversi BBM itu hanya sebatas slogan.
Memang berbagai rencana telah disiapkan. Misalnya PT Perusahaan Gas Negara Tbk menyiapkan infrastruktur berupa pembangunan terminal gas di sejumlah wilayah di Indonesia yang segera ditenderkan dengan total investasi hingga Rp 1,8 triliun.
Juga Kementerian Negara BUMN akan menggenjot program konversi dalam produksi converter kit. Yakni alat pengubah konsumsi BBG ke gas dengan melibatkan PT DI, PT Pindad, PT Boma Bisma Indra, Dok Perkapalan Surabaya, PT Inti, PT Krakatau Steel Tbk, PT Inka, dan PT Bharata Indonesia biar harganya lebih terjangkau.
CONVERTER KREDIT
Namun Dr. Kurtubi, pengamat perminyakan, melihat kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidak tepat dilakukan. “Berarti menggiring rakyat beralih menggunakan Premium ke Pertamax yang berbahan baku sama dari minyak mentah. Dan pada dasarnya kebijakan ini sama saja dengan menaikkan harga BBM 100 persen karena harga Pertamax sudah mendekati Rp 9.000,” ungkap Kurtubi.
Ditambahkan Doktor perminyakan lulusan Perancis ini, upaya mengurangi konsumsi BBM juga menjadi sia-sia, karena bagi kalangan menengah bawah akan memilih pakai sepeda motor yang masih boleh memakai premium. ”Padahal dengan jumlah motor yang makin banyak membuat lalu lintas makin semrawut,” ujar Kurtubi.
Lebih menakutkan, lanjutnya, dengan menerapkan kebijakan itu pemerintah melanggar konstistusi karena Mahkamah Konstitusi telah memutuskan mencabut Pasal 28 ayat 3 Undang Undang Migas, yang menyatakan harga migas harus dikelola negara bukan ditentukan pasar. “Maka jika dilanggar, membuka peluang pemerintah bisa di-impeach,” tegasnya.
Sedangkan langkah kedua dengan konversi BBM ke gas dinilai bagus dan sesuai dengan konsepnya. Hanya saja itu cocok itu jangka menengah dan jangka panjang. Tentu setelah semua infrastrukturnya siap. Yakni langkah pertama dengan membangun receiving terminal dan LNG di kota besar Indonesia.
Lalu, bangun pipanisasi menuju SPBG serta pool kendaraan angkutan umum, bus dan seterusnya. Pakai converter kit yang aman dan ketat. Untuk tahap awal, bagi gratis kepada kendaraan angkutan umum.
Kurtubi menggarisbawahi, konverter aman ini terbuat dari baja, sambungan ke mesinnya, dan jangan lupa dipasang oleh bengkel yang mendapat sertifikat.
Kurtubi juga mengusulkan, kalaupun pemilik mobil pribadi harus memakai gas, converter kit-nya dari pemerintah dengan status pinjaman tanpa bunga. Nah, pemotongannya dilakukan saat mengisi BBG dengan Rp 1.000. Sampai lunas sehingga pemilik kendaraan tidak terbenani.
“Intinya, langkah pemerintah mengkonversi BBM ke gas itu perlu didukung. Namun penggunaan BBM tidak perlu dibatasi. Langkah yang harus dilakukan adalah menaikkan harga premium Rp 1.000 - Rp 1.500. Jangan takut melakukan perubahan APBN. Toh selama ini pemerintah juga melakukan itu. Bersamaan itu pula, sampaikan ke masyarakat dana kenaikan BBM itu dipakai membangun jalan baru, membuat MRT di Jakarta dan Surabaya, menambah gerbong kereta api listrik Jakarta - Bogor, sehingga tidak ada lagi yang di atas gerbong. Orang juga malas naik sepeda motor atau membawa mobil pribadi, pindah ke kereta. Uang subsidi hingga Rp 150 triliun setiap tahun kan mending buat infrastruktur tadi,” urai Kurtubi. (mobil.otomotifnet.com)
Editor | : | billy |
KOMENTAR