"Memang belum ada penentuan peringkat lagi. Namun, kalau kita rasakan kondisi sekarang dan dibanding dua kota yang lain di atas, polusi di Jakarta paling buruk," ujar Ahmad Safrudin, ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Selasa (10/1) di Jakarta.
PARTIKEL DEBU
Pria yang karib disapa Puput ini menjadi salah satu yang paling peduli dengan polusi dan pencegahannya di ibukota. Ia paling rajin menggelar diskusi tentang polusi, bahaya penggunaan bahan bakar bertimbal hingga melakukan advokasi dan somasi kepada pihak-pihak terkait.
Menyangkut kondisi udara di Jakarta, menurutnya saat ini sudah mencapai taraf sangat membahayakan bagi kesehatan. Contoh paling kongkret, bagi pekerja yang berlokasi di Jakarta, seringkali mengalami batuk dan keluar ingus yang terus-menerus. Terutama di pagi hari. Hal ini kemudian berpotensi menjadi asma. Selanjutnya menjadi kanker paru-paru.
Dampak lainnya menyerang ginjal, jantung koroner hingga kematian dini/kematian mendadak. "Penyebab utama ya karena mengisap hidrokarbon yakni pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar kendaraan. Bisa karena campuran bahan bakarnya kurang tepat dan kurang bagus," ungkap Puput.
Penyebab lainnya, karbonmonoksida yang keluar dari knalpot kendaraan yang kurang perawatan. Knalpot yang kurang diservis dengan baik ini bisa menimbulkan iritasi mata, pingsan, penyakit kanker hingga mengakibatkan meninggal dunia seperti yang beberapa kali terjadi di Jakarta belum lama ini. Yakni yang meninggal dalam mobil karena menghirup karbon monoksida.
Secara teknis, Puput bisa menjelaskan dalam 10 tahun terakhir menunjukkan parameter PM10 (patrtikel debu) tidak mengal ami perbaikan. Yaitu rata-rata 49,59 ug/m3. Bahkan terkadang melebihi angka 100 ug/m3. Padahal baku mutu parameter PM10 menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) hanya 20 ug/m3.
Dengan demikian tingkat PM10 di DKI Jakarta telah sedemikian tidak sehat menurut WHO. Tingginya parameter pencemar PM10 ini menyebabkan tingginya penderita ISPA, asma, berbagai penyakit pernafasan seperti pilek, flek, kanker paru-paru hingga kematian dini pada bayi, juga merusak jarak pandang.
Dibanding 4 kota besar lainnya di Indonesia, Jakarta memang relatif paling parah tingkat pencemaran udaranya. Yakni Surabaya, Medan, Bandung dan Semarang. Hanya Semarang dan Bandung yang memiliki udara baik lebih dari sebulan dalam setahun. Selebihnya hanya menikmati udara baik kurang dari 27 hari setahunnya.
Kualitas udara masih perlu ditingkatkan sehingga progress yang signifikan bisa diwujudkan. Terutama agar parameter pencemar udara di Jakarta yang umumnya telah melampaui standar kualitas udara yang ditetapkan pemerintah dapat ditekan sehingga memenuhi ambang batas. Parameter yang melampaui standar terutama parameter nitrogen dioksida, sulfur dioksida, partikel debu dan karbon monoksida.
Dari data Kementerian Lingkungan Hidup , Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (Pusarpedal), dalam 10 tahun terakhir mencakup konsentrasi SO2 juga relatif tinggi di Jakarta. Sekalipun di bawah baku mutu nasional (365 ug/m3), tetapi data menunjukkan rata-rata SO2 adalah 46,6 ug/m3 atau hampir mencapai baku mutu menurut WHO (50 ug/m3).
Dampak paparan pencemar SO2 adalah iritasi saluran pernafasan, penyakit paru-paru, asma dan kanker. Hal ini relevan dengan data yang direlease Menteri Kesehatan RI 2010 bahwa penderita kanker di Jakarta cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Juga menyebabkan hujan asam yang dapat merusak bangunan, tanaman dan tata sistem tanah.
Juga tingginya ozone (O3), tidak lepas dari tingginya pencemaran HC dan Nox di udara. Tingginya paparan dua hal di atas dengan bantuan sinar matahari akan terjadi proses fotokimia sehingga membentuk reaksi kimia. Dampaknya bisa menyebabkan terbentuknya secondary pollutant berupa O3.
Dari data yang ada, menunjukkan rata-rata tahunan O3 jauh melampaui buku mutu nasional (50 ug/m3). Bahkan ada kalanya mencapai di atas 150 ug/m3. Tinggi paparan O3 di udara berpotensi kesulitan bernafas, kerusakan organ lembut pada paru-paru serta kerusakan vegetasi pada ecosystem serta merusak bangunan dan berbagai produk berbahan baku plastik dan karet.
Lalu bagaimana warga Jakarta menyikapi kondisi yang ada? "Kalau tingkat partikel debunya sudah parah, memakai masker juga tidak banyak pengaruh. Kemacetan yang makin parah ikut memperburuk keadaan. Makanya, makin banyak pohon-pohon yang ada di tengah kota, sedikit akan membantu masalah pencemaran udara di Jakarta," lanjut ayah 3 anak alumni Universitas Indonesia itu.
Puput memrediksi pencemaran udara di Jakarta menempati peringkat satu jika didasarkan pada kondisi terakhir dua kota rivalnya. Di Mexico City maupun di Bangkok, orang bisa menikmati makan di pinggir jalan tanpa kena debu. Tapi di Jakarta sebaliknya. Sistem transportasi di dua kota itu lebih baik, sementara di Jakarta makin parah. "Itu parameter sederhananya. Memakai masker kalau keluar rumah di Jakarta, solusi ringan yang bisa dilakukan," sebut pria 43 tahun ini. (mobil.otomotifnet.com)
Editor | : | billy |
KOMENTAR