Kopaja Ber-Ac
Tiga tokoh yang dihubungi OTOMOTIF semua sepakat meski telah menggenggam payung hukum, namun ERP belum siap diterapkan di Jakarta. Pasal utamanya karena belum tersedianya angkutan massal yang nyaman, aman dan cepat seperti yang diharapkan. "Melalui PP No. 32 tahun 2011, tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, sebenarnya ada kewenangan melakukan hal-hal mengatasi kemacetan. Namun khusus ERP, harus diakui Jakarta belum siap," ujar Darmaningtyas, Wakil Masyakarat Transportasi Indonesia.
Menurut Tyas, melalui PP itu sebenarnya pihak terkait bisa melakukan pembatasan usia kendaraan umum yang menjadi acuan yang selama ini tidak ada. Juga mengharuskan kendaraan umum baik dari bus kecil, bus sedang hingga bus besar membenahi diri sehingga menjadi angkutan yang diminati masyarakat. "Coba, kalau angkotnya nyaman, Metromini atau Kopaja ber-AC, pasti akan menjadi pilihan. Orang pun tidak segan naik Metromini, dan meninggalkan kendaraan pribadi di rumah saja," sebut Tyas.
Di kota besar seperti Jakarta dengan dinamika dan hiruk pikuknya, pemberdayaan angkutan massal menjadi utama untuk mengurangi kemacetan. Tak hanya kendaraan di jalanan beraspal, melainkan pemberdayaan kereta api look line karena bisa banyak mengangkut penumpang. "Lah, sekarang kereta api yang muter-muter Jakarta saja belum maksimal. Mungkin Anda belum pernah dengar, namanya KA Ciliwung. Kalau yang sekarang itu kan KRL Jabodetabek," ungkap pria asal Yogyakarta itu.
Di sisi lain, Pemprov malah membangun infrastruktur berupa jalan layang tol dalam kota di Tanah Abang - Kampung Melayu dan Blok M - Antasari untuk memanjakan kendaraan pribadi. "Mestinya, Gubernur membangun infrastruktur untuk kepentingan angkutan massal. Ini menunjukkan kelemahan Gubernur dalam mengatasi masalah macet di ibukota. Saya nilai, Gubernur tak punya konsep karena nya mungkin perlu Gubernur baru yang lebih berani melakukan kebijakan tidak popular namun bermanfaat bagi masyarakat luas," tutur Tyas.
Hal senada disampaikan Komjen. Pol. (Purn) Drs. H. Noegroho Djayusman yang mengatakan ERP hanya akan menarik pajak dari pemilik kendaraan. "Mekanisme ERP kan dibolehkan masuk kawasan tertentu, dalam hal ini jalan protokol, dengan membayar sejumlah uang. Nah, ini sebenarnya kan hanya memindahkan titik kemacetan dari satu titik ke titik yang lain. Pasalnya, orang masih tetap menggunakan kendaraan pribadinya bukan berpindah ke angkutan massal," ungkap Noegroho.
Mantan Kapolda Metro Jaya ini melihat bahwa ada baiknya kalau sistem three in one digantikan ERP. Terutama dalam hal pemasukan dananya. Hanya saja, bagaimana dengan penggunaan dananya, sistem pengawasannya dan lain sebagainya. "Ini sangat rawan disalah gunakan. Apalagi, akan ada proyek penyediakan peralatan dan infrastruktur yang melibatkan pihak ketiga. ERP akan menjadi lahan ‘bancakan' para pengelolanya," ujar tokoh yang kabarnya bakal diusung sebagai salah satu kandidat Gubernur DKI ini.
Diingatkan Noegroho, ERP akan terasa manfaatnya jika angkutan massal ada perbaikan. Dari angkot kecil hingga bus Mayasari Bhakti. Dengan angkutan massal lebih baik, nyaman dan aman, dimungkinkan pemilik kendaraan pribadi mau berpindah ke kendaraan umum. "Di Singapura, ERP diterapkan karena sistem angkutan massal sudah baik. Lalu, kendaraan yang boleh jalan juga ditentukan pada waktu tertentu. Ini tentu berbeda dengan kondisi Jakarta," lanjut Pembina Satgas Anti Narkoba (SAN) ini.
Dia juga mengusulkan, Pemprov berani melakukan kebijakan tidak popular. Misalnya, dengan berani melakukan pembatasan usia kendaraan di Jakarta. Maksimal lima tahun misalnya. Noegroho memuji pemberlakuan pembatasan truk melewati ruas Cawang-Pluit sebagai langkah berani dan ekstrem. "Untuk mengatasi masalah kemacetan di Jakarta, dibutuhkan langkah in-konvensional. Harus berani ambil keputusan yang radikal, tapi terukur," ujar Noegroho.
Perkuat Sistem
Sementara itu Yayat Supriatna, pengamat perkotaan lebih tenang menyikapi rencana pemberlakuan ERP. "Memperbaiki angkutan umum itu wajib hukumnya. Setelah itu regulasi saat pengaturan ERP. Bagaimana sistem yang digunakan, alternatif bagi yang tidak menggunakan jasa ERP, apakah diberlakukan 24 jam atau pada jam-jam tertentu. Itu semua butuh sosialisasi dan harus jelas," ujar Yayat.
Staf pengajar tata kota Universitas Trisakti Jakarta ini menmbahkan orang kita paling jago mengutip sebuah kebijakan. Namun kelemahananya tidak bisa memelihara dengan baik pada pelaksanaannya. Karena itu dibutuhkan sistem yang bagus dan baku sehingga menjadi mudah mekanisme pengawasannya.
Banyak hal harus diselesaikan sebelum diberlakukan. Satu contoh soal otoritas pengelolanya. Apakah dari Dinas Perhubungan, Ditlantas atau otoritas khusus. Pasalnya, pihak-pihak tersebut akan merasa memiliki otoritas.
"Menurut saya, pemberlakukan ERP membutuhkan faktor kehati-hatian yang tinggi. Terutama dalam bentuk membuat kebijakan. Mengingat ERP baru bisa benar-benar diberlakukan jika seluruh ornamen pendukung benar-benar siap. Terutama perbaikan pada angkutan massal. Kalau itu belum bisa dipenuhi, sebaiknya jangan coba-coba memberlakukan ERP, meski termasuk dalam 17 langkah mengatasi kemacetan Jakarta," tegas Yayat. (mobil.otomotifnet.com)
Editor | : | billy |
KOMENTAR