Sudah reot, sopirnya merokok pula. Perlu regulasi tegas
Menurut Wakil Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu, saat ini tarif untuk angkutan bus ditentukan bukan oleh pengusaha bus, melainkan pemerintah. "Kalau dihitung, tarif sekarang itu sangat tidak berpihak kepada pengusaha bus. Hanya sekitar 40 persen dari yang semestinya. Namun sayangnya kekurangan itu tidak disubsidi oleh pemerintah," tutur pria berdarah Yogyakarta ini.
Dengan kondisi seperti itulah makanya jangan salahkan pengusaha bus kalau tidak mampu melakukan peremajaan. "Dengan kondisi tarif yang dikontrol pemerintah seperti sekarang ini, untuk biaya maintenance bus saja sudah berat. Atau istilahnya pengusaha bus sudah kembang kempis," ujar pria sederhana berusia 50 tahun ini.
Lalu bagaimana caranya agar pengusaha bus bisa melakukan peremajaan armadanya? Menurut Darmaningtyas, ada dua yakni dengan kondisi tetap seperti sekarang ini boleh saja asalkan pemerintah memberi subsidi untuk kekurangan yang ada. Atau membiarkan tarif angkutan sesuai mekanisme pasar. "Jadi biarkan saja pengusaha bus memberlakukan tarif sesuai dengan hitung-hitungan ekonomis, tentu dengan layanan lebih bagus dan kenyamanan dengan kondisi bus yang diharapkan penumpang," lanjut Darmaningtyas.
Sayangnya, Eka Sari Lorena Soerbakti selaku Ketua Organda Pusat ketika dihubungi telepon genggamnya lagi tidak aktif. Anehnya pula, melakukan peremajaan angkutan umum masuk dalam '17 langkah mengatasi kemacetan di Jakarta' namun hingga sekarang belum ada undang-undang pembatasan masa berlaku angkutan umum di Indonesia. Atau memang sengaja membiarkan jalanan di Ibukota menjadi sampah dengan metromini reot dan bus kota tua yang mengeluarkan asap hitam pekat yang menyerang kesehatan kita? Semoga tidak. (mobil.otomotifnet.com)
Editor | : | billy |
KOMENTAR