Otomotifnet.com - Belakangan ini, nama Kombes Halim Pagarra menjadi sorotan masyarakat karena ia dinilai vokal dalam menyampaikan pendapatnya.
Namun per 8 April 2018, Kombes Halim Pagarra harus meninggalkan jabatannya sebagai Direktur Lalu Lintas (Dirlantas).
Ia digantikan oleh Kombes Yusuf yang merupakan Analis Kebijakan Madya Bidang Jianma Korlantas Polri.
Bukan karena berhenti atau diberhentikan, Halim akan nak pangkat sebagai Direktur Regident Korps Lalu Lintas Kepolisian RI (Dirregident Korlantas Polri) sesuai dengan surat telegram Kapolri bernomor ST/964/IV/KEP./2018.
(BACA JUGA: Awas Ada Yang Pacaran, Perhatikan Ini Saat Bawa Mobil Lewat Jembatan Atau Flyover)
Selama menjabat sebagai Dirlantas Polda Metro Jaya, Halim kerap bersikap vokal dalam menyampaikan pandangannya terhadap berbagai isu yang tengah menjadi sorotan masyarakat.
Sebut saja mengenai kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI tentang penataan kawasan Tanah Abang dan pencabutan larangan motor melintas di Jalan Thamrin.
Ia juga menolak menjadi saksi meringankan dalam kasus korupsi E-KTP yang mencatut nama mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Penataan Tanah Abang
Sejak tanggal 22 Desember 2017, Pemprov DKI menerapkan kebijakan penataan kawasan Tanah Abang.
Kebijakan tersebut berupa penutupan ruas Jalan Jatibaru dan menhizinkan pedagang kaki lima (PKL) berjualan di salah satu ruas jalan.
Menanggapi hal ini Halim mewakili Ditlantas Polda Metro Jaya mengirimkan enam rekomendasi terkait kebijakan ini.
(BACA JUGA: Bus Segede Gitu Terbalik, TransJakarta Usut Penyebabnya)
Pada poin pertama, polisi meminta dilibatkan dalam perencanaan kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang berdampak pada masalah keamanan, keselamatan, ketertiban lalu lintas.
Kedua, polisi menyarankan agar penggunaan jalan untuk penyelenggaraan di luar fungsi jalan harus dikoordinasikan guna mendapatkan izin dari Polri.
Ketiga, polisi menyarankan agar penempatan pedagang kaki lima (PKL) pada lokasi yang layak dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keempat, melakukan pengkajian yang lebih komprehensif dalam setiap kebijakan, baik dari aspek sosial, ekonomi maupun hukum, sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang baru.
Kelima, Pemprov DKI diminta meningkatkan kualitas pelayanan angkutan umum yang dapat diakses menuju ke tempat perbelanjaan.
Terakhir, polisi meminta Pemprov DKI mengembalikan dan mengoptimalkan kembali fungsi jalan untuk mengurangi dampak kemacetan dan kecelakaan lalu lintas.
Hal tersebut berkaitan dengan peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, hingga akhir jabatannya, Pemprov DKI Jakarta tak juga menjalankan rekomendasi polisi ini.
(BACA JUGA: Ayo Tebak... Berapa Harga Helm dan Sarung Tangan Presiden Joko Widodo Saat Turing? Pokoknya Nggak Nyangka)
Motor boleh melintas Thamrin
Pemprov DKI Jakarta kembali memperbolehkan kendaraan roda dua atau sepeda motor masuk dan melintas di Jalan MH Thamrin hingga Jalan Medan Merdeka Barat.
Kebijakan itu tak terlepas dari keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut peraturan gubernur (pergub) soal pelarangan sepeda motor melintas di sepanjang Jalan MH Thamrin hingga Jalan Medan Merdeka Barat.
Pergub yang dimaksud adalah Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor juncto Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 141 Tahun 2015.
Sikap Pemprov DKI yang menindaklanjuti keputusan pencabutan pergub larangan sepeda motor oleh MA disayangkan Halim.
Menurut Halim, pencabutan larangan tersebut tidak efektif lantaran selama ini ketiadaan sepeda motor di sepanjang Jalan MH Thamrin hingga Jalan Medan Merdeka Barat memberikan banyak hal positif.
"Saya kira tidak efektif karena sudah efektif dengan adanya pelarangan," ujar Halim saat dihubungi, Selasa (9/1/2018).
Halim menjelaskan, berdasarkan pengamatannya, pelarangan sepeda motor di kawasan tersebut mampu mengurangi kepadatan lalu lintas.
Kendati kurang setuju, Halim mengaku akan mengikuti peraturan yang sudah diputuskan itu. Jika nantinya sepeda motor kembali diperbolehkan melintasi kawasan tersebut, pihaknya telah menyiapkan rekayasa lalu lintas.
Menolak jadi saksi kasus Setnov
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan adanya dugaan persekongkolan antara dokter RS Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo dan Fredrich Yunadi.
Kasus ini bermula saat Novanto berkali-kali mangkir dari panggilan KPK, baik sebagai saksi maupun tersangka.
(BACA JUGA: Tahu Rasa! Pelaku Penampar Petugas SPBU Terancam Dipolisikan)
Pada 15 November 2017 malam, tim KPK mendatangi rumah Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, untuk melakukan penangkapan. Namun, tim tidak menemukan Novanto.
Esok harinya, KPK memasukkan Novanto dalam daftar pencarian orang (DPO). Novanto kemudian muncul dalam wawancara via telepon di sebuah televisi swasta dan mengaku akan datang ke KPK.
Di tengah perjalanan Setnov mengaku mengalami kecelakaan.
Fredrich meminta pihak kepolisian menjadi saksi meringankan atas kasusnya tersebut. Halim dengan tegas menolak permintaan ini.
"Iya, kami diminta menjadi saksi yang meringankan dari pada Fredrich (Yunadi).
Tapi enggak kami penuhi, karena dalam proses penyelidikan (kecelakaan Setya Novanto) kami tidak pernah melibatkan Fredrich," ujar Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Halim Pagarra di Mapolda Metro Jaya, Senin (22/1/2018).
Halim mengaku tak tahu mengapa Fredrich meminta polisi untuk jadi saksi meringankan dalam kasus tersebut.
Editor | : | Taufan Rizaldy Putra |
Sumber | : | Kompas.com |
KOMENTAR