Terios 7 Wonders Sambangi Suku Bajo

Sabtu, 4 Oktober 2014 | 09:21 WIB


Torosiaje - Setelah melewati perjalanan sekitar 20 jam melintas Jalan Trans Sulawesi dengan kondisi jalan berkelok-kelok bervariasi dari aspal mulus hingga berkerikil, tim ekspedisi  Terios 7 Wonders tiba di Desa Torosiaje hari Jumat (3/10) pukul 08.00 WITA. Di sini terdapat objek wisata laut yaitu kampung Suku Bajo. Tim Terios 7 Wonders pun melakukan eksplorasi di tempat ini.

Suku Bajo yang terletak di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato ini berada di atas air Teluk Tomini. Ada sekitar 250 rumah di Kampung Bajo yang berbentuk panggung. Sebagai saran penghubung dengan daratan, pengunjung diantar dari dermaga dengan perahu bermotor tempel untuk sampai ke Kampung Bajo, sekitar 5-7 menit perjalanan.

"Suku Bajo sebenarnya ada di mana-mana. Seperti di Kendari, Pulau Buton, Selat Malaka dan Filipina termasuk Labuan Bajo di Nusa Tenggara Barat.  Karena Suku Bajo sendiri awalnya memang masyarakat yang bermukim di pesisir pantai. Hanya saja Yang di Torosiaje ini memiliki keunikan sendiri. Yaitu tinggalnya di lepas pantai, kalau Suku Bajo lainnya di pesisir pantai," jelas Tama, kepala dusun yang punya nama asli Akbar.

Pria yang aslinya dari Makassar dan istrinya orang Bajo itu pun mengisahkan asal muasal Suku Bajo. Katanya, dulu ada seoang raja di Selat Malaka yang anak putrinya hilang saat memancing di laut bersama pengawalnya. "Raja memerintahkan pengawalnya untuk mencari sang putri dan berpesan jangan pulang sebelum anaknya ditemukan. Akhirnya para pengawal raja itu menetap di pinggir pantai," ujar Tama kepada rombongan.

Suku Bajo terkenal sebagai pelaut ulung. Orang Bajo, menurut Tama, hidupnya di perahu, bukan di pemukiman. Di Torosiaje sejak 1901 namun pada 1930-an sudah dibentuk bangunan (rumah). Sarana di sini pun semakin maju. Untuk sarana penerangan, dulu memakai genset tetapi listrik masuk sejak 2013.

Ada sekitar 250 rumah panggung dari kayu di sini yang terhubung dengan koridor yang terbuat dari kayu juga. Pembangunan ini menggunakan kayu gopasa yang kuat dan tahan air. Kayu ini bisa tahan sampai 30 tahun. "Syaratnya, ketika baru dibeli jangan langsung ditancap, tetapi dijemur dulu," lanjut Tama yang punya usaha rumah makan di sini.

Perahu dayung atau bermotor tempel sebagai sarana angkutan dan perdangangan bahan pokok. Tidak ada kendaraan lain di sini. Ketika hari beranjak siang, tim kembali ke dermaga untuk melanjutkan perjalanan menuju Mamuju.

Rombongan kembali melintas Jalan Trans Sulawesi yang berkelok-kelok namun kali ini banyak jalan yang tidak rata. Sayang, mengingat perjalanan masih jauh dan tim belum cukup istirahat, diputuskan untuk bermalam di Palu. (mobil.otomotifnet.com)