Bukannya cepat sampai, stres membuatnya tak waspada. Ia menabrak seorang pejalan kaki. Bukannya cepat sampai, ia malah makin direpotkan oleh urusan kecelakaan dan betul-betul ketinggalan pesawat.
Stres merupakan salah satu potensi bahaya bagi pengendara. Apalagi dengan kondisi jalanan yang makin hari makin macet. Kejadian seperti dialami Denni, bukanlah hal baru di jalanan kita. Bukannya makin cepat atau menyelesaikan masalah, perjalanan makin terhambat bahkan muncul masalah baru akibat penanganan stres yang salah.
Terima Dan Pahami
Menurut studi yang dilakukan perusahaan navigasi, TomoTom, ketika terjebak macet tingkat stres pengemudi pria bisa mencapai tujuh kali lipat yang dialami wanita. “Saat stres, pria umumnya menunjukkan respon psikologis akut, menghadapi atau menghindari,” kata psikolog kesehatan, David Moxon.
Menurut psikolog Roslina Verauli M.Psi, toleransi terhadap stres antara pria dan wanita sebenarnya tidak beda. Yang membuat berbeda adalah cara merespon. “Perempuan lebih mudah menyalurkan tekanannya, bercerita, curhat, lebih ekspresif. Kalau laki-laki terbiasa untuk menahan sendiri, tidak seekspresif perempuan, tekanannya dipendam ke dalam,” kata wanita yang akrab disapa Vera ini.
Secara umum manusia bereaksi terhadap stres, termasuk akibat macet, secara bertahap. Tahap pertama, alarm. Munculnya kesadaran ada macet yang bikin stres. Kalau dibiarkan terus, lama-lama manusia akan jadi resisten. “Kita seperti sudah menerima bahwa macet itu bagian dari kehidupan. Padahal bikin stres,” lanjut psikolog RS Pondok Indah, Jaksel ini.
Kondisi tersebut, lama-lama berkembang jadi kelelahan, lalu jadi burn out atau ledakan. Bentuknya berupa, mudah marah, kerja berantakan, sulit konsentrasi, ceroboh, kelelahan, membenci diri sendiri, benci pada kehidupannya. “Makanya hati-hati, kalau ada alarm nggak suka ini macet, segera lakukan sesuatu,” bilang dosen psikologi di Universitas Tarumanegara, Jakbar ini.
Tiap hari dihajar stres dan macet bisa mempengaruhi kondisi fisik. Stres menekan produksi hormon yang meningkatkan daya tahan tubuh. Akibatnya, jadi lebih mudah sakit. Juga mudah lelah, sulit konsentrasi, sakit kepala dan seterusnya. Secara emosi, jadi lebih mudah terpancing, marah, agresif. Secara jangka panjang, stres juga bisa mempengaruhi relasi dengan orang lain seperti keluarga atau teman kerja.
“Bisa mempertinggi tingkat perceraian. Klien saya banyak terbantu dengan monitoring waktu. Mereka bangun jam 5 pagi, pulang jam 10 malam. Trus ketemunya kapan? Kita lebih sering ketemu teman kantor daripada pasangan hidup,” bilang Vera.
Orang menghadapi stres dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang bisa mengelola dengan tenang, berpikir dan menghasilkan solusi. Ada yang justru melakukan hal-hal yang membuat masalah dan stres baru. Seperti marah-marah akibat macet, kebut-kebutan, pepet-pepetan di tengah jalan. “Seringnya saat macet, kita punya pikiran-pikiran yang kita ganda-gandakan sendiri. Istilahnya katastropi, aduh ini nanti telat, nanti bos marah, dan seterusnya,” kata Vera.
Panik dan pikiran buruk tidak akan membantu saat terjebak macet. Langkah pertama yang wajib dilakukan adalah, terima dan pahami bahwa kita sedang tertekan dan di tengah macet. ‘Gila’, gw stres nih. Baru sesudah itu, coba pahami apa yang membuat kita stres. Dengan menerima kenyataan, kita bisa berpikir, terus bagaimana, apa yang bisa dilakukan.
“Orang yang bisa berpikir begini, jadi lebih mudah merasionalkan. apa yang bisa kulakukan. Oya, delegasi deh, telpon ke kantor, besok berangkat lebih pagi, relaksasi, ngopi, ngeteh, dengerin musik atau ngobrol, atau nikmati itu sebagai kesempatan untuk menikmati waktu untuk diri sendiri. Lalu berikutnya apa ya untuk mengantisipiasi, besoknya harus berangkat lebih pagi, cari route baru, pakai sopir dan sebagainya Ini kedengarannya susah dilakukan, karena Anda tidak melewati tahap menerima itu tadi,” jelas ibu satu anak ini.
Sesudah itu, baru bisa mengupayakan tindakan untuk meredakan stres. Metodenya, berbeda-beda untuk tiap orang, sesuai karakter dan latar belakangnya. Ada yang terbantu dengan musik, ada yang dengan ngobrol, sehingga keberadaan teman perjalanan bisa membantu. Ada juga yang terbantu menghadapi tekanan dengan relaksasi.
“Gunakkan humor, kita lihat sekeliling, lihat keadaan orang yang keadaannya lebih terjepit dari kita. Tapi jangan sarkasme yaa, tapi cari keadaan untuk mentertawakan diri sendiri,” bilang lulusan Universitas Indonesia ini. (mobil.otomotifnet.com)