Bahkan seorang Jacob Oetama, tokoh pers nasional dan pendiri Harian Kompas menyebut sebagai pembayar kendaraan juga mengakui rasa ketidakadilan tidak imbang antara pemakai jalan dengan pengguna jalur busway. Menurutnya itu mengurangi rasa keadilan di jalan.
"Apalagi saat jalur busway kosong. Bahkan hanya dilalui armada yang sedikit. Seharusnya diperbolehkan kendaraan pribadi melewati jalur tersebut walaupun dengan sistem buka tutup," kata Pak Jacob.
Buka Tutup
Cerita ini sebenarnya mewakili sebagian besar pemakai transjakarta yang di Jakarta kini telah ada 10 koridor. Harapan akan adanya transportasi massal yang cepat dan nyaman belum terpenuhi.
"Bagaimana bisa lebih cepat kalau jarak antar bis begitu lama. Ironisnya, pada jam-jam sibuk seperti berangkat kerja di pagi hari maupun pulang kerja pada petang hari, jumlah armadanya seperti menghilang," ujar Andi, karyawan sebuah bank di bilangan Sudirman.
Penderitaan yang ditanggung Andi tak hanya itu. Saat bus transjakarta tiba di halte, tak selalu bisa mengangkut penumpang karena kapasitas sudah penuh. Akhirnya harus menunggu busway berikutnya yang terkadang baru datang lagi pada durasi 30-60 menit.
"Kalau Anda pelanggan busway, di halte pun tersiksa. Soalnya, meski ada kipas angin yang digantung, tidak selalu bisa dinyalakan," ungkap anggota klub motor itu.
Anehnya, pada jam-jam tertentu busway kosong melompong. "Ini yang saya nggak tahu, kenapa bisa begitu. Mestinya pengelola busway Transjakarta kan bisa mengatur keberangkatan bus sesuai kebutuhan. Seperti menyediakan bis lebih banyak pada jam-jam sibuk. Tapi yang ada dengan umur busway hampir 7 tahun tidak ada progres yang mendekati harapan masyarakat," lanjut Andi.
Karena itu Leo melihat dalam beberapa hal busway tidak adil untuk pengguna jalan maupun konsumennya. "Tidak adil karena masalah hak dan kewajiban pengguna jalan. Jangan buat jalur busway kalau kita belum siap. Saat ini kita dilarang memakai jalur busway.
Namun kenyataannya jalan di sampingnya macet total namun jalur busway kosong melompong dalam durasi sangat lama. Karena itu saya berharap kondisi tertentu jalur itu boleh untuk kendaraan pribadi dengan system buka tutup aja. Itu menurut saya justru ikut membantu mengatasi kemacetan di Jakarta," kata Leo Galistan, pengurus Pajero Owners Club.
Boleh kita nggak pakai jalur busway, lanjut Leo, kalau frekuensi kedatangan bis setiap 5 menit sekali, halte nyaman dan busnya juga oke. "Dulu saya pengguna busway. Mobil saya tinggal di Ragunan, Pasar Minggu lalu saya naik busway. Tapi sekarang saya balik lagi bawa mobil karena frekuensi antarbusway lama dan tidak menentu, fasilitasnya mulai rusak dan tidak nyaman."
Ayu Larasati, Ketua CR-V Club Indonesia melihat lebih pada ketidaksiapan pihak-pihak yang menjalankan busway dan mengatur jalan raya. Ayu menilai pengguna jalan dan pengguna busway yang cenderung dirugikan. "Yang ngatur jalan enggak tegas, polisi kadang ada, naik busway pun lama dan macet karena jalurnya dipenuhi mobil pribadi," kata Ayu.
Untuk koridor yang ramai seperti Sudirman-Thamrin, lebih parah lagi. Ayu pernah nunggu hingga satu jam sembari antri menuju halte. Baru pada bus keempat mendapatkan busway. "Busyet dah. Kenapa jumlah busnya tidak ditambah lebih banyak? Sekarang ini naik busway benar-benar enggak nyaman," lanjutnya. (mobil.otomotifnet.com)