Speak Up! : Siap Pindah Angkutan Umum, Asal...

billy - Kamis, 24 Februari 2011 | 07:23 WIB

(billy - )


Jakarta
- Macet membuat kualitas hidup warga kota besar makin menurun, stres meningkat dan mempertinggi peluang kecelakaan.

“Saat bawa mobil, yang ada di pikiran saya, bagaimana saya ada di depan supaya enggak kena macet. Bagaimana caranya supaya anak saya enggak telat, akhirnya sering kali saya jadi speeding,” ujar Leonard Galistan, sekjen Pajero Owners Community.

Tak hanya pengemudi, sang anak yang jadi penumpang pun ikutan stres karena waktu berangkat makin pagi tapi tetap takut terlambat.

Mobil tak lagi membantu, tapi justru membuat tekanan di jalan makin tinggi. Akhirnya banyak anggota komunitas dan pengguna mobil akhirnya menyerah, hanya memakai mobilnya saat weekend.

“Tempat tinggal dan kantor saya dekat sekali. Kalau naik motor, itu setengah jam sampai. Tapi kalau naik mobil, telat 5 menit aja jatuhnya bisa beda banget. Bukan karena saya enggak sanggup beli bensin, waktunya yang enggak ngejar,” bilang Herry, anggota Innova Community.

Tapi motor pun kini tak lagi bisa jadi solusi. Dalam setahun ini, waktu tempuh dengan motor pun sudah meningkat sampai dua kali lipat. “Dulu naik motor dari Duren Sawit ke kantor saya di Palmerah bisa sampai dalam 40 menit. Itu sekitar Desember 2009. Sekarang saya perlu 1 jam 20 menit. Motor aja nggak bisa bergerak,” kata Henry MTH dari Indonesia Starlet Club.

Para pegiat klub mobil ini membagi harapan dan pengalaman hidup 'berdampingan' dengan macet. Mereka ternyata siap beralih ke angkutan umum lo...

MENTAL DAN LAW ENFORCEMENT
Penyebab dan solusi macet dengan peranti kebijakan dan sarana jalan saja tidak cukup. Harus dibarengi dengan pembangunan mental dan budaya. Tidak hanya pemakai jalan tapi juga para penegak hukumnya.

“Harus dimulai dari mental dan budaya kita. Kalau enggak kita sendiri yang tertib, siapa lagi?” kata Leo. “Sepertinya ada semacam budaya kalau melanggar peraturan itu bangga. Buktinya, saya sendiri pernah merasakan, bangga bisa lolos dari polisi, bisa nyuap polisi,” imbuh Henry.

 Angkutan umum. Pengguna mobil siap beralih, sayang masih kurang manusiawi (kiri). Herry. Tinggalkan mobil karena motor mereduksi waktu tempuh dan stres (kanan).
Sayangnya tidak hanya satu dua orang, budaya pelanggaran tersebut makin kuat saat berada dalam kelompok. Yang benar jadi salah karena kalah jumlah. “Bulan puasa kemarin kemarin aku papasan dengan motor melawan arah. Aku lawan mereka, klakson dan kasih dim, eh malah aku yang dimarahin sama motor-motor itu,” keluh Bunga Stamania, anggota Jazz Fit Club.

Menghadapi ketidakpedulian dan pelanggaran massal seperti ini, sosialisasi dan pendekatan persuasif dirasa tidak efektif lagi. Yang diperlukan hanya satu, ketegasan. Menurut Henry, polisi mestinya lebih ‘otoriter’.

Agak susah dengan proses sosialisasi. Istilahnya, kalau di sebuah negara yang susah diatur, mestinya dengan otoriter. Dalam hal ini penegakkan hukum, otoriter dalam arti ketegasan menegakkan peraturan,” kata pemilik Toyota Starlet tersebut.

Ketegasan merupakan elemen mutlak, tidak hanya bagi pelanggar jalan tapi juga aparat pelaksananya. “Faktanya ada polisi yang menjadikan pelanggar itu sebagai lahan mencari tambahan penghasilan. Ada yang benar-benar mengakui, ‘iya nih pak emang lagi usaha nih pak, lagi cari-cari tambahan’,” ungkap Herry yang pernah diam-diam memantau jalur komunikasi polisi.

SIAP PINDAH
Sampai saat ini, warga Ibu Kota mau tidak mau harus bisa hidup ‘berdampingan’ dengan macet. Meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan umum, biasa dilontarkan jadi wacana. Sekarang, mau enggak sih para aktivis klub mobil ini meninggalkan mobilnya dan berpindah ke angkutan umum?

“Kalau sarana public transportation kita dibenahi, enggak ada yang mengganggu busway. Saya mau banget kalau harus ninggalin mobil dan beralih ke busway,” bilang Leo yang biasa meninggalkan mobilnya di parkiran kebun binatang Ragunan dan melanjutkan perjalanan dengan busway dan taksi.

 Leo Galistan. Lebih baik bayar dengan sistem yang jelas daripada kucing-kucingan di jalur 3 in 1 (kiri). Henry. Mestinya polisi lebih "Otoriter" (kanan).
“Hitung-hitung, kalau naik taksi 20-30 ribu saya bagi rejeki, daripada saya pakai buat beli solar. Dan saya enggak malu, pakai jas atau dasi, naik busway,” lanjut ayah 5 anak ini.

Sayangnya, angkutan umum tidak bisa jadi pilihan yang manusiawi. Busway yang diharapkan bisa jadi angkutan nyaman dan aman, makin tidak ada bedanya dengan angkutan umum lainnya. Apalagi bagi penumpang wanita. Kalau kereta bisa ada gerbong khusus wanita, bagaimana dengan busway?

“Busway itu kotor banget. Kita pengennya naik yang nyaman, dingin, pakai AC dan bersih. Belum yang paling baru ini, soal pelecehan seksual di angkutan umum termasuk busway di Jakarta,” keluh Bunga yang biasa meninggalkan Honda Jazz-nya di Al-Azhar, Jaksel, lalu melanjutkan perjalanan dengan busway.

KOMUNITAS DAN TRAFFIC MANAGEMENT
Komunitas atau klub mobil terbukti bisa jadi pemicu untuk tertib. Sejak bergabung dengan klub, Leo mengaku malu melanggar atau ugal-ugalan di jalan. “Ada terpasang stiker gede-gede di mobil. Celaka nanti difoto sama teman lagi masuk jalur busway, terus dipasang di mailing list,” katanya sambil terkekeh.

Kesadaran seperti itu patut dihargai, didukung dengan traffic management yang tepat. Arus kendaraan mesti diatur karena ruas jalan yang terbatas sementara jumlah kendaraan makin banyak. Seperti jumlah dan jam truk yang melewati tol dan jalan utama dalam kota. “Itu kalau ada satu aja yang terguling, macetnya bisa sampai kemana-mana,” kata Herry.

Sebagai pengguna mobil, Leo mengaku siap membayar dengan sistem pengaturan yang jelas. Itu lebih baik daripada harus kucing-kucingan pakai joki saat 3 in 1, “Enggak efektif itu 3 in 1, saya mending bayar daripada 3 in 1. Yang penting pemerintahnya konsisten.” (mobil.otomotifnet.com