"Tanpa mengecilkan upaya yang telah ditempuh Kememhub, namun hasilnya atau dampaknya masih jauh dari harapan. Karena penindakan terhadap ODOL ini masih kurang rapat dan merata," kata Ketua Aptrindo Jateng & DIY, Chandra Budiwan, Minggu (21/3/2021).
Ia menyoroti masih banyaknya kelemahan dalam operasi penindakan ODOL tersebut, dikarenakan metode pengawasannya yang masih berjalan secara manual. Padahal, di era digital ini mestinya sudah menggunakan electronic law enforcement yang meminimalisir terjadinya kontak manusia dengan manusia.
Seperti diketahui, sistem digital penilangan atau electronic traffic law enforcemen atau ETLE sudah digunakan Polri untuk proses penilangan pelanggar lalu lintas.
"Penegakan hukum menggunakan manusia (petugas) sangat tidak efektif dan efisien. Mereka bisa saja mengalami kecapekan fisik dan mental setelah menjalankan operasi secara terus menerus dalam kurun waktu lama.
Selain itu juga sering berpotensi terjadi kesalahan dan penyelewengan," ujarnya.
Baca Juga: Truk Odol Dilarang Masuk Pelabuhan Oleh Kemenhub Mulai Desember 2020
Karena itu, lanjutnya, Kemenhub harus bisa membenahi ekosistem angkutan barang terlebih dahulu seperti persaingan usaha tidak sehat yang merupakan faktor utama penyebab terjadinya praktik ODOL.
Selain itu, kata dia, persoalan ODOL akan selesai dengan sendirinya, jika penindakannya menggunakan hukum responsif, bukan hukum represif.
"Karena dengan memakai hukum yang responsif akan mengikat pemerintah, pengusaha truk dan pemilik barang sekaligus. Berbeda hal nya jika memakai hukum represif yang hanya mengikat pemerintah dan pengusaha truk nya saja," katanya.
Chandra menambahkan, Kemenhub juga harus menindak pemilik barang sebagai sumber permasalahan. Karena pemilik barang memegang peran penting di awal terjadinya praktik ODOL.