Ugal-ugalan di Jalan Berujung Kasus, Damai Enggak Semudah Tempel Materai

Harryt MR - Kamis, 25 Mei 2023 | 19:15 WIB

(ilustrasi) Pengemudi Yaris, Yohanes (kiri) dan pengemudi Pajero, William (kanan) berdamai dan bersalaman di Polda Metro Jaya, Senin (23/5/2022), usai video keributan keduanya viral di media sosial. (Harryt MR - )

Otomotifnet.com - Banyak netizen gregetan lantaran kasus pidana lalulintas maupun pidana umum, selesai dengan materai.

Sebetulnya hal ini merupakan langkah restorative justice yang memang dibenarkan.

Namun kenyataannya, perkara yang selesai dengan bermodal materai tak membuat pelanggar jera sekaligus tidak mendidik.

Oleh karenanya, pernyataan damai sifatnya privat atau perdata, sehingga tidak menggugurkan perkara pidana.

Hal ini termaktub dalam pasal 235 ayat 1 dan 2 UU 22/2009.

Seperti disampaikan oleh Budiyanto Ssos. MH, selaku Pemerhati Masalah Transportasi dan Hukum.

“Kesepakatan damai yang dibuat hanya akan menjadi pertimbangan meringankan bagi Hakim dalam memutuskan perkara terduga sebagai tersangka atau pelaku,” terang Budiyanto.

Ia melanjutkan, masyarakat banyak yang belum tahu. Mereka beranggapan bahwa surat pernyataan damai mampu menggugurkan perkara pidana.

“Pada prinsipnya bahwa ganti kerugian dapat ditentukan berdasarkan putusan pengadilan, atau dilakukan diluar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai antara para pihak yang terlibat,” imbuh Budiyanto.

Sekali lagi bahwa kesepakatan damai tidak dapat menggugurkan perkara pidananya. Namun hanya dapat menjadi pertimbangan yang meringankan bagi hakim untuk memutus perkara.

Termasuk dalam konteks perkara kecelakaan lalu lintas.

Apalagi dalam perkara kecelakaan lalu lintas, jika korban meninggal dunia akibat kelalaian pengemudi.

Maka ahli waris berhak mendapatkan biaya pengobatan atau biaya pemakaman.

Demikian juga bila terjadi cedera badan, ahli waris berhak mendapatkan bantuan berupa biaya pengobatan.

“Bantuan biaya pengobatan atau biaya pemakaman yang diberikan oleh pihak korban dari pelaku atau orang tua pelaku,”

“Secara formal dibuat surat pernyataan bersama, yang pada intinya tidak akan melakukan penuntutan, baik secara perdata maupun pidana,” sambungnya lagi.

Contoh kasus, banyak beredar video-video pengendara motor dan mobil ugal-ugalan, membahayakan pengguna jalan lain, serta tentu melanggar rambu dan fungsi marka jalan.

“Se-enaknya sendiri pindah lajur tanpa memberi isyarat, memotong marka garis utuh, mengabaikan rambu-rambu dan sebagainya yang dapat berpotensi terjadinya laka lantas,” kata Budiyanto.

Baca Juga: Cara Hadapi Pengemudi Konyol, Awas Jangan Emosi dan Mukul Duluan

Pengemudi kendaraan bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan penumpang serta pengguna jalan lain.

“Jaminan tersebut harus mampu diwujudkan oleh pengemudi dengan cara tertib berlalu lintas dan taat aturan. Namun tidak sedikit pengemudi bersikap sembrono dan ugal-ugalan,” tambahnya.

Masih menurutnya, pembiaran terhadap pengemudi ugal-ugalan tanpa memberikan sanksi tegas, sangat tidak mendidik dan menggerus wibawa aparat.

Penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas melibatkan 3 instansi, yakni penegak hukum Polri, Kejaksaan dan Pengadilan.

Ketiga instansi penegakan hukum diharapkan memiliki semangat yang sama untuk mencegah, mengedukasi dan memberikan sanksi yang setimpal terhadap pengemudi ugal-ugalan.

Baca Juga: Banyak Pelat Dinas Palsu, Modusnya Konyol, Pelaku Terancam Pidana Serius

Sebab menyangkut keselamatan manusia, yang tentu saja perlu dilakukan upaya hukum yang setimpal.

“Bila perlu perlakuan terhadap pengemudi yang ugal-ugalan diberikan sanksi pidana dan sanksi tambahan. Berupa pencabutan SIM dalam waktu tertentu,”

“Karena pencabutan SIM harus melalui penetapan pengadilan. Tanpa adanya tindakan yang tegas dari aparat penegak hukum, sikap dan perilaku ugal-ugalan akan berulang terus,” urai Budiyanto.

Pasal berlapis menanti pengendara ugal-ugalan. Yaitu dijerat Pasal 311 UULLAJ No. 22/2009, berupa sanksi pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 3.000.000.

Lalu melanggar rambu-rambu dikenakan Pasal 287 ayat 1, dipidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.

Baca Juga: Pengendara Motor Nekat Masuk Jalan Tol, Silakan Kalau Mau Merasakan Masuk Bui

Dilanjut pelanggaran terhadap gerakan lalu lintas, diatur dalam pasal 287 ayat 3, dipidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000.

Kemudian pelanggaran batas kecepatan maksimal diatur dalam pasal 287 ayat 5, pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.