“Diperburuk simpanan tabungan akibat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan inflasi,” sebut Yongky, dalam diskusi bersama Perhimpunan Distributor, Importir dan Produsen Pelumas Indonesia (PERDIPPI).
Ia melanjutkan, untuk sektor riil di ritel, pertumbuhan ekonomi 5% tidak cukup mendukung perputaran perdagangan, apalagi ditambah inflasi yang tinggi sejak 2022.
“Pertumbuhan penjualan sektor ritel dirasakan lemah sejak 2023 akibat kenaikan BBM, inflasi dan masa wait and see dampak Pemilu,” ungkap Yongky, beberapa waktu lalu di Jakarta.
Masih menurutnya, kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi domestik sebesar 58%.
“Jadi jika konsumsi masyarakat dan pengusaha melemah, ini akan berakibat langsung pada angka pertumbuhan ekonomi nasional,” terang pria yang juga dikenal sebagai anggota task force percepatan ekonomi Indonesia.
Baca Juga: Begini Strategi Pabrikan Mobil Listrik China Gandeng Distributor Lokal
Meski begitu, Ia memaparkan data, bahwa di 2030 Indonesia berpeluang masuk dalam consumer boom kedua.
Dimana GDP per kapita berpotensi meningkat dari 5.000 USD ke 10.000 USD, akibat peningkatan signifikan dari hilirisasi dan investasi tinggi dari luar atau dalam negeri.
“Era of plenty ini akan memberikan dampak besar akan terbentuknya kelas menengah yang baru, yang lebih tinggi daya belinya, yaitu kelas menengah yang tengah,” katanya serius.
Ia pun mengakui, Pemerintah telah fokus selama 10 tahun terakhir membangun infrastruktur untuk pertumbuhan Indonesia yang lebih tinggi.
Yaitu sektor energy, jalan tol, pelabuhan, Listrik, air, dan sebagainya.
Namun menariknya, selama sepuluh tahun ini GDP per kapita Indonesia hanya bergerak dari 4.000 USD ke 5.000 USD.
Sehingga mengakibatkan pelemahan kelas menengah, yang dulu terbentuk di era tahun 2000-2010.