Padahal sebagai bagian dari jalan raya, jalur pejalan kaki harus difokuskan untuk terus maksimal pemanfaatannya. Bagi pejalan kaki tentu saja. Karena perlindungan pasif di pedestrian akan efektif hindarkan kecelakaan fatal bagi pejalan kaki.
KETERBATASAN LAHAN
Lalu siapa yang mestinya berwenang buat kontrol kondisi pedestrian? “Skema pembangunan pedestrian menjadi kewenangan Dinas Pekerjaan Umum. Diakui di berbagai daerah di Jakarta masih belum tersedia pedestrian. Hal ini dikarenakan keterbatasan lahan,” jelas Udar Prihastomo, kepala Dishub DKI Jakarta
Perkara keterbatasan lahan, tentunya kembali pada persoalan tata ruang kota. Oleh karena itu semestinya masalah ini dibahas lintas instansi pemerintah daerah. “Tidak mudah dalam merumuskan semua itu, terlebih soal pembebasan lahan yang tentunya harus mengeluarkan biaya tidak sedikit,” papar Udar ketika dihubungi lewat ponselnya Selasa lalu (31/1).
Perihal kehadiran pedagang yang acap memaksa pejalan kaki turun ke aspal juga diakui Udar. “Para pedagang kaki lima ini memang meresahkan. Kami menyerahkan kepada petugas Satpol PP untuk menertibkan,” tegas pria yang berkantor di bilangan Tanah Abang, Jakpus ini.
Kolaborasi aktif antar instansi memang jadi kunci terjaganya fasilitas umum. Tak terkecuali pihak kepolisian yang mestinya bisa ikut mensterilkan pedestrian dari pemakai jalan selain pejalan kaki. “Untuk pengendara motor yang melibas pedestrian dapat langsung ditindak atau ditilang dengan dijerat UU Lalu Lintas No. 22, tahun 2009,” ungkapnya lagi.
Makanya sebenarnya para pejalan kaki juga berhak menegur para pengendara motor yang tidak disiplin maupun pedagang yang berdagang di ruas pejalan kaki. Menurut Udar, area pedestrian merupakan hak pejalan kaki secara total.
BAYAR ‘RETRIBUSI’
Pedagang yang memanfaatkan area pedestrian juga merupakan ‘bahaya laten’. OTOMOTIF menyambagi pedagang buah yang berada di seputaran Pasar Minggu. Lucunya mereka malah tak merasa mengganggu pejalan kaki. Alasan mereka karena jalan raya di sini cukup lebar dan trotoar berada di belakang barisan pedagang-pedagang ini. “ Jadi enggak ngerasa mengganggu, walaupun ngeri juga kena sambar kendaraan yang lewat,” ungkap Umiyati, salah satu pedagang buah.
Lalu apakah ia tahu kalau praktiknya merupakan kegiatan terlarang. Dikatakannya, ia dan rekan-rekannya cukup leluasa berdagang di sini karena membayar sejumlah uang pada beberapa pihak. “Ada preman, trantib dan polisi,”ungkapnya. Untuk preman ibu yang sudah berdagang selama 20 tahun ini memberikan seribu rupiah tiap harinya kepada 4 sampai 5 orang preman.
Lain halnya jumlah yang diberikan kepada Trantib (Satpol PP) sebesar Rp 5 ribu tiap minggunya. Setoran ke pihak kepolisian juga dilakukan, besarannya Rp 5 ribu tiap bulan. “Uang ini buat informasi kalau mau ada penertiban,”tutupnya.
Wah…
Editor | : | billy |
KOMENTAR